/

“Nginjak Bumi” di Kampung Grembeng, Karangasem

Oleh : Heru Amri

Peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW atau Maulid Nabi memiliki arti yang sangat penting bagi penduduk Muslim Karangasem, Bali. Hal itu terlihat dari masih adanya perayaan-perayaan terhadap hari sekalipun bulan Rabiul Awal jelang berakhir dan segera akan digantikan oleh bulan Rabiul Akhir.

Di Kampung Gerembeng Atas, misalnya. Minggu (7/3) lalu, perayaan Maulud Nabi dilaksanakan dengan tradisi Ngurisang, yaitu menguris rambut puluhan bayi di kampung setempat. Prosesi pemotongan rambut bayi tersebut diiringi dengan pembacaan Shalawat. Sepintas, tradisi ini menunjukan adanya akulturasi Hindu dan Islam. Karena dalam pelaksanaannya banyak mempergunakan sarana kembang dan air.

Tradisi ini sendiri terbagi dalam tiga tahapan. Setelah pemotongan rambut bayi, tradisi ini kemudian dilanjutkan dengan Mejurag. Kata mejurag sendiri berasal dari Bahasa Bali yang berarti berebut. Memang dalam Mejurag yang dilakukan di halaman masjid ini dilakukan pelemparan uang koin bercampur kembang yang kemudian direbut oleh ratusan anak-anak. Uang koin yang dilemparkan tersebut adalah pecahan Rp 500 dan Rp 1.000.

Setelah Mejurag, acara disusul dengan upacara Nginjak Gumi. Pada tahapan ini, bayi yang telah dipotong rambutnya dimandikan dengan air kembang. Lalu, oleh orang tuanya sang bayi dituntun untuk menginjakan kakinya ke atas sejumlah sarana yang ditempatkan di atas tanah.

"Kalau Ngurisang bermakna pembersihan. Sedangkan Nginjak Bumi bermakna doa agar kelak si anak mampu mandiri menjalani kehidupannya dengan serba kecukupan," ujar Rohani, seorang ibu yang bayinya mengikuti proses tersebut.

Setelah ketiga acara utama tersebut usai, perayaan dilengkapi dengan pemotongan nasi Kebuli. Nasi berbahan beras ketan ini dicampur dengan ayam suwir dan lawar kelapa. Campuran tersebut kemudian dibentuk menjadi tumpengan besar.

Dan, seperti perayaan Maulid yang biasa ditemukan di Bali, pembagian nasi Kebuli ini disertai dengan pembagian telur hias kepada para undangan yang hadir. Sementara para anak-anak kemudian melanjutkan kegiatan dengan mengikuti panjat pinang.

Sejarah Islam di Karangasem
Menurut catatan sejarah, masuknya Islam ke Karangasem yang merupakan masa-masa awal masuknya Islam ke Bali. Itu bermula saat Raja Karangasem, Anak Agung Ketut Karangasem, menyerang Pulau Lombok sekitar tahun 1690. Dalam penyerangan tersebut, Raja Karangasem berhasil menaklukkan kerajaan Pejanggik dan menguasai sebagian wilayah Kerajaan Mataram atas jasa Pangeran Dadu Ratu Mas Pakel, putra Raja Mataram. Sebagai tanda jasa Pangeran Dadu Ratu Mas Pakel beserta pengikutnya yang beragama Islam diberi tempat terhormat di Karangasem. Ketika meninggal, jasad Sang Pangeran dimakamkan di Istana Taman Ujung. Komunitas inilah yang menjadi cikal-bakal kampung-kampung Islam di wilayah Karangasem.

Beberapa dekade kemudian, datang Sunan Mas Prapen (cucu Sunan Giri) mendirikan Masjid Ampel, sekitar 500 meter dari Puri Karangasem. Masjid tersebut dibangun di atas tanah seluas 4.500 meter persegi pemberian Raja Karangasem. Arsitektur Masjid Ampel Karangasem serupa dengan Masjid Ampel, Gresik Jawa Timur yang memiliki empat pilar sebagai soko guru yang menopang atap bersusun dua. Pada sisi-sisi masjid terdapat tiga pintu masuk terbuat dari kayu. Di dalam masjid terdapat 12 pila-pilar pendukung pilar utama tadi. (chairul/abe/jjb)

Lihat juga:
Wisata Masjid di Bali

RSS Feed

0 Comments for “Nginjak Bumi” di Kampung Grembeng, Karangasem

Leave a comment!