Archive for October 2010

/

Aroma Khas Villa Fare Ti'i Pererenan

Oleh: Maria Ekaristi

Tak banyak villa yang memiliki kelebihan ini: aroma rerumputan dan tanaman yang merebak harum di sekeliling vila. Saya sendiri merasakan kesegarannya begitu memasuki gerbangnya. Padahal, saat itu sedang panas terik. Saya tak tahu, apa yang membuat rerumputan dan tanaman di vila ini menebarkan aroma segar yang berbeda dari yang lain. Mungkinkah karena di taman tersebut terdapat pohon buah-buahan macam Kecapi (Sandoricum koetjape), Buni (Antidesma bunius) dan Jamblang (Syzygium cumini), yang aroma bunga dan buahnya saling berkombinasi baik? Yang pasti, kekhasan aroma di arael Villa Fare Ti’i itu sungguh menyenangkan.

Memasuki kawasan Villa Fare Ti’i, saya merasakan suasana yang ditawarkannya, yakni sebuah tempat yang nyaman dan eksotik untuk beristirahat dan menyegarkan diri setelah menghadapi rutinitas sehari-hari. Di sini anda akan merasakan kemewahan alam tropis Bali dengan hamparan sawah yang membentang di sekeliling kawasan.

Villa Fare Ti’i merupakan kumpulan dari empat villa yang unik. Villa-villa tersebut seolah membentuk sebuah komunitas kecil yang membawa kedamaian masa lalu ke alam masa kini. Bangunannya merupakan penggabungan yang serasi dari arsitektur-arsitektur tradisional Indonesia dengan arsitektur Bali sebagai basisnya.

Dari empat villa yang ada, hanya satu villa yang memiliki satu kamar tidur. Tiga villa lainnya, masing-masing memiliki dua kamar tidur. Namun, semuanya mendapat sentuhan interior yang apik yang dipercantik oleh pajangan benda-benda seni dari masa lalu – benda-benda seni yang keindahan dan keunikannya telah teruji oleh waktu.

Keisitimewaan lainnya, ruang di antara villa satu dengan villa yang lainnya diberi taman asri dan eksotik yang membuat anda benar-benar merasa seperti tengah berada di sebuah kawasan retret yang damai.

Untuk kenyaman setiap tamu yang menginap di sana, pada ke-empat villa tersebut dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas: bar terbuka, ruang makan, pengering rambut, bath tub, sun bed, air panas, jaringan telepon internasional (SLI), pesawat televisi dengan satellite TV channel, pengatur suhu (AC), CD stereo system, mini bar, brankas, akses Internet WiFi, dan dapur. Jika diperlukan, pada setiap villa terdapat sebuah tempat tidur tambahan (extra bed) yang selalu siap untuk anda gunakan.

Di tengah-tengah pertamanan, terdapat sebuah kolam renang yang cantik dan bersih. Suasananya menyuguhkan kesegaran, kesenangan dan kenyamanan untuk merenanginya.

Jika anda menginap di villa ini, layanan inklusif yang pasti anda dapatkan antara lain: minuman selamat datang dan handuk dingin pada saat kedatangan; sarapan (American Breakfast) untuk dua orang bagi yang menginap di “One Bed Room Villa” dan untuk empat orang bagi yang menginap di “Two Bed Room Villa”; air mineral (dua botol per hari untuk setiap kamar); hidangan teh/kopi yang disajikan di bar terbuka pad asetiap sore, penggunaan sepeda gunung, akses internet di seluruh areal villa atau dengan PC di lobi villa.

Bagi anda yang menginap lebih dari tujuh malam, anda akan mendapat layanan transfer gratis menuju airport.

Untuk melengkapi kenyamanan anda beristirahat, Villa Fare Ti’i menyediakan jasa layanan laundry, pijat dan perawatan kecantikan; makan siang atau makan malam eksklusif disiapkan di setiap villa (bisa juga berdasarkan pilihan anda pada menu-menu Echo Beach Restaurant); BBQ atau Candle Light Dinner; penjaga anak; tour operator; penyewaan mobil atau motor; dokter panggilan; pelajaran Bahasa Indonesia; kursus memasak; pelajaran menari Bali; kursus mengukir kayu; layanan pos.

Vila Fare Ti’i terletak di tepi pantai Desa Pererenan, sebuah kawasan surfing yang sangat indah. Jarak tepat ini dari Kawasan Wisata Kuta kira-kira 8 kilometer. Dari Bandara Internasional Ngurah Rai, villa ini berjarak sekitar 10 kilometer dan dengan kecepatan normal, jarak tersebut dapat ditempuh hanya dalam waktu 45 menit saja.

Untuk mencapai villa ini, dari Kawasan Kuta menujulah arah Tanah Lot via Kerobokan. Tiba di perempatan Kerobokan berbeloklah ke arah kiri. Kurang lebih tiga kilometer dari perempatan tersebut anda akan menemukan pertigaan (ke kiri ke Pererenan, ke kanan ke Mengwi, serong lurus kea rah Tanah Lot). Pilihlah yang ke arah kiri menuju Pantai Pererenan. Satu setengah kilometer dari situ anda sudah menemui Vila Fare Ti’i. Letaknya di sisi kiri jalan.

Lalu, bagaimana soal harga?

Harga untuk “One Bed Room Villa”:
Rate USD 125.00 net / villa / malam

Harga untuk “Two Bed Room Villa”:
Rate USD 150.00 net / villa / malam

Semua tarif tersebut sudah termasuk pajak pemerintah dan ongkos pelayanan.

Ada sedikit catatan, tamu tidak diperkenankan triple kecuali menambah biaya extra bed sebesar Rp 200.000, - net / malam (termasuk sarapan). Waktu check in 14:00 dan waktu check out 12:00 siang.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai villa kami, silakan kontak atau datang langsung ke:
Jl. Pantai Pererenan, Br. Pengembungan
Desa Pererenan, Canggu, Badung - Bali
Phone: +62.361.881.7979 - 848.2640
Fax: +62.361.848.2640
Email: sales@faretii.com
Website: www.faretii.com

Hide

/

Duka Bagi Saudara di Mentawai dan Lereng Merapi

Indonesia berduka. Belum usai menata kembali kehancuran akibat bencana di Wasior, telah menyusul bencana di Mentawai dan Merapi. Ratusan korban tak terselamatkan. Ribuan lainnya menanggung derita.

Bertahanlah. Bangkitlah.
Kami bersamamu, saudaraku.
Dengan apa yang kami mampu…

Hide

/

Nasi Barak, Sarapan Kegemaran Pejabat dan Mahasiswa

Oleh: Maria Ekaristi

Warungnya sederhana saja. Hanya bangunan semi permanen di atas areal seluas 3,5 x 6 meter. Hidangan yang disajikan pun sederhana: nasi campur ala Bali. Namun omset yang berputar di situ tergolong luar biasa: sekitar Rp 4,5 juta per hari. Maklum, dalam setengah hari warung milik Ni Wayan Resmiyani ini menghabiskan sedikitnya 28 ekor ayam yang diolah dengan beberapa cita rasa sebagai lauk dari nasi hidangannya. Semua itu ludas oleh para langganananya yang sebagian besar adalah karyawan, pejabat pemeritah, politisi, pedagang, pebisnis dan mahasiswa-mahasiswa asal Buleleng yang berkuliah di Denpasar. Lalu apa keistimewaan yang menyebabkan warung itu begitu laris? Tak lain, ayam betutunya yang mmmmmuaaaah! Enak banget!

Waktu saya datang ke warung itu, saya langsung memesan hidangan andalan mereka. Hanya dalam 5 menit terhidang di depan saya sepiring nasi dari beras merah dengan lauk ayam betutu, ayam suwir, ayam goreng, sayur urap dan kuah baso ayam. Itulah nasi campur ala Bali versi warung yang dikenal dengan sebutan Warung "Nasi Barak” (nasi beras merah) ini. Dan, itulah menu andalan mereka karena memang itu menu satu-satunya yang mereka hidangkan sejak 2002.

Di lidah saya, bumbu betutu warung ini memang khas. Aroma jahe dan serehnya yang dominan membuat ayam yang terbaluri bumbu tersebut terasa sangat gurih. Nyangluh, kata orang Bali. Rasa gurih itu seolah melekat di rongga mulut sehingga membuat hidangan tersebut terasa lezat dari suapan pertama hingga suapan terakhir. Yang mengejutkan, untuk semua kenikmatan tersebut anda cukup menggantinya dengan uang hanya sebesar Rp10 ribu!

Warung "Nasi Barak” ini berlokasi di pinggir jalan di kawasan Banjar Abian Luang, Baturiti. Jalan ini merupakan jalan utama Denpasar-Bedugul-Singaraja. Sebagai ancar-acar, lokasi warung ini kurang lebih sekitat sekitar 3,5 kilometer dari pusat oleh-oleh “Kawan Jogger” atau sekitar 2 kilometer dari “Café Tahu”. Hanya saja, jangan datang ke sana setelah lewat tengah hari. Sebab, sekitar pukul 12 warung itu sudah tutup karena persediaan makanan sudah ludas. Ketika saya tanya Resmiyani, sang pemilik warung, soal kemungkinan menambah “jam tayang” warungnya agar pelanggan yang datang sore hari punya kesempatan menikmati hidangannya, perempuan dengan penampilan bersahaja ini mengatakan bahwa dirinya tak sanggup mengelola warung dalam ukuran besar.

“Biarlah segini saja. Kalau terlalu banyak, saya tak sanggup menyediakan masakannya. Saya takut nanti malah tidak enak. Kasihan pelanggan,” ucapnya sembari tersenyum tulus.

Hide

/

Lagi di Ubud, International Bali Meditators’ Festival2010

Ini untuk yang kedua kalinya perhelatan besar bagi para meditator digelar di Bali. Yang pertama, diselenggarakan pada 13 Nopember 2009. Tajuk acara tersebut adalah International Bali Meditators’ Festival (IBMF) 2010 yang diprakarsai oleh Yayasan Anand Ashram. Sama seperti perhelatan pertama IBMF 2010 pun akan digelar di Lapangan Astina, Ubud, yakni pada 12-14 Nopember 2010. Adapun tema kali ini adalah: Vasudhaiva Kutumbakam. Vasudhaiva Kutumbakam adalah idiom dalam bahasa Sansekerta yang secara bebas dapat diartikan sebagai sebuah upaya untuk membangun dunia sebagai sebuah keluarga yang damai, penuh limpahan cinta dan harmonis.

Para tokoh meditasi yang akan berbicara dan memberikan workshop meditasi maupun penyembuhan adalah : Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa, Ma Anand Baghawati, Gde Prama, LK Suryani, BR. Indra Udayana, Bhante Ciradhammo, K.K. Nuril Arifin Husein, Margot Anand, Tara Khandro, Ketut Arsana, dr. I Made Astawa, Maya safira Muchtar, Gede Kamajaya, Prabhu Darmayasa.

Semangat yang diusung dalam festival ini masih semangat lama yakni, meruntuhkan dan meretas sekat pembatas yang mengotak-ngotakkan manusia berdasarkan suku, agama, ras, golongan dan ideologi.

“Melalui meditasi kita dapat memancarkan aura baik penih cinta-kasih ke segenap penjuru semesta. Dengan cara itu, kita telah turut menciptakan dan menjaga kedamaian di bumi ini,” papar dr. I Wayan Sayoga, tokoh penting dalam Yayasan Anand Ashram.

Dan, menurut Sayoga, di tengah derasnya arus budaya konsumerisme yang serba instan dan mau mudahnya saja, semangat menebar cinta kasih kepada sesama dan alam semesta melalui meditasi, harus terus-menerus dilakukan. Itulah sebabnya, di tengah berbagai keterbatasa Yayasan Anand Ashram tetap menghelat ajang internasional ini.

“Bagi kami, keyakinan, keteguhan, kerja keras dan semangat pengabdian adalah cara terbaik untuk membalikkan segala bentuk keterbatasan menjadi kegembiraan,” tandasnya.

Info lebih detil:
Oka Ratnayani
(0361) 8779752, (0361) 8477490
e-mail:info@balimeditates.org
www.balimeditates.org

Hide

/

Penulis Australia Dominasi UWRF 2010

Oleh : Agung Bawantara

Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2010 jadi ajang reuni dan temu kangen para penulis Australia. Begitu cetus seorang pecinta buku di Bali yang rajin mengamati perhelatan tahunan yang menghadirkan penulis dari dalam dan luar negeri itu. Tentu itu hanya seloroh setelah ia melihat daftar peserta dan pemerhati yang bakal hadir. Memang, tercatat dalam situs web resmi panitia, dari 143 peserta yang diundang, 49 peserta berasal dari Australia. Jumlah itu melampaui peserta dan partisipan tuan rumah, Indonesia, yang hanya berjumlah 37 orang.

Tapi, ini tentu bukan urusan jumlah peserta dan dari negara mana mereka berasal. Sebagaimana disampaikan oleh I Wayan Juniartha, salah satu orang penting dalam penyelenggaraan ajang ini, bahwa pemilihan peserta undangan lebih didasari kriteria yang berkaitan dengan dunia kepenulisan dan perbukuan. Bukan di luar hal itu.

“Kebangsaan penulis bukan hal terpenting. Karya dan kiprahnya yang berkaitan dengan tema festivallah yang menjadi pertimbangan utama kami,” paparnya.

Tema UWRF yang ke-tujuh ini adalah Bhineka Tunggal Ika : Unity in Diversity. Tema itulah yang terutama menjadi acuan untuk memilih undangan dan memilih nomor-nomor kesenian yang akan dipentaskan. Termasuk juga dalam memilih tokoh-tokoh yang akan diberi penghargaan.

Di lain sisi, untuk menentukan peserta asal Indonesia yang diundang, Triyanto Triwikromo salah satu kurator acara itu, mengatakan bahwa ada banyak alasan yang mendasarinya.

“Secara keseluruhan, mereka mencerminkan keberagaman daerah serta kantong-kantong kesusasteraan di Indonesia. Selain itu, juga mencerminkan keragaman genre, aliran, tema, dan kecenderungan kesusasteraan Indonesia, mempresentasikan penghormatan Ubud Writers & Readers Festival 2010 pada upaya pemberdayaan perempuan, dan memajukan penulis-penulis muda berkualtas” begitu papar Triyanto Triwikromo kepada media.

Ada 18 penulis Indonesia yang diundang panitia untuk mengikuti UWRF 2010 yang akan berlangsung pada 6-10 Oktober di beberapa lokasi di Kawasan Ubud itu. Mereka adalah Kurnia Effendi (Jakarta), Medy Lukito (Jakarta), Nusya Kuswatin (Yogyakarta), Arif Riski (Padang), Zelfeni Wimra (Padang), Wa Ode Wulan Ratna (Jakarta), Andha S (Padang), Imam Muhtarom (Blitar), Wendoko (Semarang), Yudhi Heribowo (Solo), W. Hariyanto (Surabaya), Benny Arnas (Sumatera Selatan), Magriza Novita Syahti (Padang), Harry B Koriun (Riau), serta Hermawan Aksan (Bandung), Sunaryono Basuki KS(Penulis buku Biyang Bulan dan Rangda yang diterbitkan JP Books) , Ni Made Purnamasari, Iwan Darmawan (Bali).

Para sastrawan ini dipilih oleh Dewan Kurator Ubud Writers & Readers Festival 2010 dalam sidangnya yang berlangsung awal Mei lalu di Ubud, Bali. Dewan Kurator terdiri dari Triyanto Triwikromo, Cok Sawitri, dan M Aan Mansyur.

Selama berlangsungnya festival, para penulis Indonesia itu kemungkinan akan mendapat kesempatan untuk berdialog dengan sejumlah penulis terkemuka dari berbagai negara. Salah satu penulis yang menjadi “bintang” dalam UWRF kali ini adalah Louis de Bernieres, novelis Inggris yang karyanya “Captain Corelli’s Mandolin” memenangi Commonwealth Writers Prize 1995.

Di bawah ini, nama-nama peserta dan partisipan UWRF 2010:

Australia
1. Ali Cobby Eckermann
2. Antony Loewenstein
3. Bob Gosford
4. Caroline Baum
5. Cate Kennedy
6. Chris Hanley
7. Chris Parkinson
8. Christos Tsiolkas
9. Daniel Ducrou
10. Emilie Zoey Baker
11. Ezra Bix
12. Frank Moorhouse
13. Gerard Ryle
14. Greg Barton
15. Irene Ritchie
16. Janet De Neefe
17. Jeff Lowenstein
18. Jeni Caffin
19. Jennifer Byrne
20. Jo Case
21. Joan London
22. Jon Bauer
23. Julie Janson
24. Kirsty Murray
25. Lionel Fogarty
26. Marie Munkara
27. Mark Jensen
28. Mark Tredinnick
29. Maurice O'Riordan
30. Nam Le
31. Omar Musa
32. Pam Allen
33. Patrick Allington
34. Paul Ham
35. Pauline Nguyen
36. Rosemary Sayer
37. Ruby Murray
38. Sara Niner
39. Sarah Taylor
40. Selena Hanet-Hutchins
41. Shane Maloney
42. Shelley Kenigsberg
43. Sian Prior
44. Sophie Cunningham
45. Stephen Carleton
46. The Brothahood
47. The Last Kinection
48. Thomas Keneally
49. Tony Maniaty

Indonesia
1. Anak Agung Gde Putra Agung
2. Andha S
3. Arif Rizki
4. Basuki KS Sunaryono
5. Benny Arnas
6. Clara Ng
7. Cok Sawitri
8. Debra Yatim
9. Dede Oetomo
10. Dewi Lestari
11. Enin Supriyanto
12. Hary B Kori'un
13. Hermawan Aksan
14. Iman Muhtarom
15. Iwan Darmawan
16. Kurnia Effendi
17. M Aan Mansyur
18. Made Wijaya
19. Maghriza Novita Syahti
20. Medy Loekito
21. Ni Made Purnamasari
22. Noor Huda Ismail
23. Nusya Kuswantin
24. Nyoman Nuarta
25. Petty Elliot
26. Poonam Sagar
27. Reda Gaudiamo
28. Sarojini
29. Sitor Situmorang
30. Sosiawan Leak
31. Sutardji Calzoum Bachri
32. Toenggoel Siagian
33. W Hariyanto
34. Wa Ode Wulan Ratna
35. Wendoko
36. Yudhi Herwibowo
37. Zelfeni Wimra

USA
1. Anne Martin Bowler
2. Diana Darling
3. Ioannis Gatsiounis
4. Jamie James
5. Janet Steele
6. Joe Kim
7. Kamau Abayomi
8. Kris Saknussemm
9. Lisa Teasley
10. Michael Vatikiotis
11. Mike Otterman
12. Rachel Kushner
13. Renée Melchert Thorpe
14. Robin Hemley
15. Steve Mettee

Filipina
1. Apolonio Chua
2. Marjorie Evasco
3. Paul A. Dumol
4. Ricardo M. de Ungria
5. Tony Perez
6. Yason Banal

Inggris
1. Kate Adie
2. Louis de Bernieres
3. Richard Gombrich
4. Sarah Murray
5. William Dalrymple

Malaysia
1. Brian Gomez
2. Mohd Jayzuan
3. Tash Aw
4. Zhang Su Li

Vietnam
1. Andrew Lam
2. Anna Moi
3. Nguyen Qui Duc

Singapura
1. Deepika Shetty
2. Madhav Mathur
3. Shamini Flint

Irlandia
1. Anne Enright
2. John O'Sullivan

Lebanon
1. Joumana Haddad
2. Rabih Alameddine

Negara Lain:
1. Adrian Grima (Malta)
2. Ali Eteraz (Pakistan)
3. Anne-Ruth Wertheim (Netherlands)
4. Berislav Loncarevic (Croatia)
5. Etgar Keret (Israel)
6. Galina Lazareva (Russia)
7. Hande Altayli (Turkey)
8. Ma Jian (China)
9. Ma Thida (Burma)
10. Najat El Hachmi (Spain)
11. Oleg Borushko (Ukraine)
12. Senadin Musabegovic (Bosnia and Herzegovina)
13. Shehani Gomes (Sri Lanka)
14. Stephen McCarty (Hong Kong)
15. Suad Amiry (Palestinian Territories)
16. Tabish Khair (India)
17. Teodozio Ximenes (Timor-Leste)

Jadwal UERF 2010

Hide

/

Joged, Tango Khas Bali dengan Banyak Ragam

Oleh: Agung Bawantara

Dibandingkan dengan Tari Legong dan Kecak, Joged kalah pamor dalam brosur-brosur pariwisata Bali. Tapi di Bali, tari ini termasuk tari yang populer. Tari ini merupakan tari pergaulan yang memiliki pola gerak lincah, dinamis dan bebas. Yang dimaksud bebas di sini adalah bahwa gerak-gerak dalam tarian tersebut tidak terikat oleh pakem dan komposisi yang ketat. Penari dapat melakukan banyak improvisasi, terutama saat meladeni partisipasi penonton (laki-laki) yang turut menari dengannya. Tari ini biasanya dipentaskan untuk suasana sukacita pada musim panen dan hari-hari besar.

Dasar gerak tari ini adalah gerakan tari Legong dan Kekebyaran. Ada banyak macam tari Joged di Bali, yaitu Joged Bumbung, Joged Pingitan, Joged Gebyog, Joged Gadrung, Joged Leko, dan Joged Dadua. Kecuali Joged Pingitan, semua pertunjukan Joged selalu ditarikan secara berpasangan. Biasanya setelah menarikan tarian pembuka, penari akan nyawat (memilih) penonton laki-laki untuk turut menari (ngibing) bersamanya. Bagian tersebut dinamakan paibing-ibingan. Ditilik dari penampilannya yang berpasangan, sepintas tari Joged dapat disejajarkan dengan Dansa di Eropa atau Tango dan Salsa di Amerika Latin.

Joged Bumbung
Jenis ini adalah yang paling populer di Bali. Musik pengiringnya adalah gamelan tingklik bambu berlaras slendro yang disebut Gamelan Gegrantangan. Tarian ini muncul pada tahun 1946 di Bali Utara lalu menyebar hampir ke semua desa di Bali.

Ketika acara televisi semakin marak dengan program hiburan, kepopuleran tari Joged pun merosot. Apalagi saat hiburan musik pop Bali semakin menyuat, banyak kelompok Joged Bumbung berguguran karena tak memiliki kesempatan berpentas. Dalam kondisi seperti itu ada kelompok Joged yang mengambil jalan mudah untuk merebut kembali pamornya yakni dengan menampilkan goyangan erotik saat menari. Namun, cara kontroversial itu tak bertahan lama. Masyarakat menghujatnya sebagai joged porno. Sementara, di panggung-panggung musik pop, grup-grup sexy dancer tampil hampir setiap pekan terutama di kawasan Denpasar dan Kuta dengan penampilan yang lebih vulgar dan lebih erotis.

Kini Joged Bumbung kembali ke gaya pementasannya semula yang tak terlalu vulgar. Untuk bertahan hidup, mereka pentas secara berkala di hotel-hotel di Kawasan Sanur, Kuta, Nusa Dua dan Ubud.

Joged Pingitan
Joged ini diduga muncul di Bali sekitar tahun 1884. Semula merupakan tarian hiburan bagi raja, dan konon penari-penarinya adalah para selir.

Dinamakan Joged Pingitan karena di dalam pementasan tarian ini ada hal-hal pingit (tabu) yaitu pengibing (penari laki-laki) hanya diperbolehkan menari mengimbangi gerakan penari Joged. Dia sama sekali tidak diperbolehkan menyentuh bagian tubuh mana pun dari si penari Joged. Jika dilanggar, diyakini akan menyebabkan hal-hal yang mencelakkan penari atau pengibing itu sendiri.

Berbeda dengan Joged Bumbung, dalam pementasannya Joged Pingitan membawakan suatu lakon dengan iringan gamelan tingklik bambu berlaras Pelog (lima nada). Gamelan tersebut terdiri dari sepasan rindik besar (pangugal), sepasang rindik barangan berbilah 14 atau 15, sepasang Jegogan, sebuah kemplung, sebuah kajar, sebuah kemodong, satu atau dua buah seruling serta sebuah kendang kekrumpungan.

Kecuali pada kendang dan seruling, untuk memainkan instrument di atas, penabuh mempergunakan dua buah panggul (alat pukul) dengan teknik kakilitan atau kotekan. Tabuh-tabuh yang biasa dimainkan meliputi: Bapang Gede, Condong, Legong, Pacalonarangan dan Gandrangan. Di antara semua tabuh itu, Gandranganlah yang paling meriah karena bisa ditarikan secara bebas dan improvisasi. Tabuh-tabuh lain cenderung formal seperti yang terdapat dalam Legong Kraton.

Lakon yang biasa dibawakan dalam pementasan Joged Pingitan adalah kisah Prabu Lasem dan Calonarang.

Saat ini penari Joged Pingitan sulit di temukan. Beberapa yang masih aktif dapat dijumpai di Gianyar, Badung dan Denpasar. Maestro Joged Pingitan adalah Ni Ketut Cenik. Sayang, Sang Maestro keburu meninggal dunia sebelum ada generasi baru yang benar-benar bisa mengambil alih kepiawaiannya.

Joged Gebyog
Jenis tari joged yang diiringi dengan bumbung gebyog yang ritmis berlaras Slendro, jenis joged ini hanya terdapat didaerah Bali bagian barat yaitu di kabupaten Jembrana. Tari Joged Gebyog ini menggambarkan ibu-ibu rumah tangga yang menumbuk padi dengan riang-gembira. Masing-masing penari membawa sebatang bambu yang menggambarkan sebagai alu untuk menumbuk padi. Bambu-bambu tersebut diketukkn pada lesung kayu sehingga menghasilkan irama ritmis dan indah untuk mengiringi tarian Joged yang kemudian melibatkan penonton (laki-laki) untuk menari berpasangan dengannya (ngibing).

Saat ini sangat terbatas grup tari yang bisa mementaskan Joged Gebyog ini. Satu dari yang sedikit tersebut adalah Sanggar Tari Werdhi Sentana, Jembrana, asuhan Gusti Ketut Sudana.

Joged Gandrung
Kalau joged jenis lain ditarikan oleh perempuan, Joged Gandrung ditarikan oleh laki-laki yang berhias dan berpakaian perempuan. Joged Gandrung diiringi seperangkat Gamelan Tingklik berlaras pelog yang terbuat dari bambu. Saat ini grup Joged Gandrung sangat jarang ditemui. Hanya di beberapa desa di Gianyar, Badung dan Denpasar masih tersisa beberapa sekaa (grup) Joged Gandrung. Itu pun semua penarinya perempuan, bukan laki-laki seperti pakem aslinya.

Joged Leko
Jenis joged ini nyaris sama langkanya dengan Joged Pingitan. Joged yang diduga muncul pada tahun 1930-an itu kini hanya terdapat di tiga desa yakni Desa Sibang Gede (Badung), Desa Tunjuk (Tabanan) dan Desa Pedem (Jembrana).

Joged jenis ini menampilkan gerak tarian menyerupai gerak tari Legong Keraton sebagai pembuka, lalu dilanjutkan dengan gerak bebas saat bagian pengibing-ibingan.

Dalam sebuah pementasan, penampilan Joged Leko diawali dengan Condong yang dibawakan oleh seorang penari dengan gerak-gerak abstrak, lalu dilanjutkan dengan Kupu-kupu Tarum yang dibawakan oleh sepasang penari untuk menggambarkan kemesraan sepasang kupu-kupu yang bercengkerama di sebuah taman bunga.

Usai Kupu-kupu Tarum, penampilan dilanjutkan dengan Onte yang juga dibawakan secara berpasangan. Bagian ini mengisahkan sepasang muda-mudi sedang asyik memadu kasih. Disusul kemudian dengan Goak Manjus yang menggambarkan sepasang burung gagak sedang mandi dengan riang di sebuah telaga.

Terakhir, tampillah Joged yang dibawakan beberapa penari yang tampil secara bergiliran. Setiap penari, menunjuk (nyawat) seorang laki-laki dari kerumunan penonton yang diajaknya sebagai pasangan menari dalam beberapa putaran. Setiap penari Joged biasanya melakukan tiga sampai lima putaran paibig-ibingan, sebelum digantikan oleh penari Joged yang lain.

Yang menarik, pada saat tertentu Penari Joged tiba-tiba trance dan mengamuk. Biasanya hal tersebut terjadi jika Joged Leko menampilkan kisah Calonarang sebagai inti pertunjukannya. Trance umumnya terjadi saat adegan perkelahian ditampilkan.

Joged Dadua
Joged ini hanya terdapat di Banjar Suda Kanginan (Tabanan). Sering juga disebut Joged Duwe (‘e’ di belakang diucapkan seperti dalam kata ‘fase’). Tarian ini merupakan tarian ritual keagamaan di Pura-Pura yang terdapat di wilayah Banjar Suda Kanginan. Diperkirakan Joged ini lahir sebelum tahun 1920-an di Puri Kediri.

Mulanya, joged ini merupakan tarian hiburan biasa. Lama kelamaan, entah kapan mulainya, para Penari Joged ini seperti mendapat kekuatan supratural untuk menari dalam keadaan trance. Sejak saat itu, joged ini pun dinamakan dengan joged pingitan yang tidak boleh ditarikan di tempat-tempat yang dianggap tidak suci (leteh/cuntaka) dan hanya boleh ditarikan pada upacara-upacara tertentu.

Awalnya, Joged Dadua ini diiringi dengan seperangkat gamelan gong kebyar yang tak lengkap yang diistilahkan dengan Gong Sibak. Sekitar tahun 1940-an gong pengiring joged tersebut dilengkapi menjadi satu barung (set) gong.

Seperti namanya, penari Joged Dadua (dadua = dua) terdiri dari dua penari perempuan berusia kanak-kanak (belum menstruasi). Dua penari tersebut dipilih oleh warga dengan syarat mau belajar menari serta berparas elok. Begitu penari tersebut menstruasi, maka warga segera mencari penggantinya untuk dilatih dan diinisiasi secara spiritual.

Penari Joged Dadua mengenakan kostum Legong Keraton lengkap dengan kipasnya. Urutan penampilannya ada tiga palet (babak). Diawali dengan Palet Papeson-Lalegongan yang serupa dengan tarian awal Legong Keraton. Selanjutnya disusul dengan Palet Palayon yang juga mirip dengan gerakan Legong Keraton. Terakhir, Palet Ibing-ibingan menghadirkan satu atau dua pengibing yang telah ditentukan orangnya dan biasanya dari kalangan sutri. Tarian akan berakhir bila penabuh telah mendapat isyarat berhenti dari para sutri.

Kelompok Joged Dadua yang masih eksis saat ini antara lain Sekaa (grup) Joged Banjar Suda Kanginan, Desa Nyitdah, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan.

Joged Bisama
Joged ini juga tergolong tarian hiburan yang mulai disakralkan. Tak banyak informasi mengenai tarian yang hanya terdapat di Desa Bongan Gede (Karangasem) ini.

Sumber:
-Joged, babadbali.com
-Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali, Prof. Dr. I Wayan Dibia
-Dari Parade Seni di Ksirarnawa --Kekhasan Daerah Perkaya Keragaman Budaya, Bali Post Senin Pon, 27 Desember 2004
-'Kerauhan' dalam Kesenian Bali, Masuknya 'Memedi' hingga Dewa, Kadek Suartaya Bali Post Minggu Wage, 17 April 2005

Tulisan terkait:
Grantangan, bumbung-bumbung Pengiring Ngibing
Joged-joged Bali

Hide

/

Wisata Hujan di Bali Juga Mengasyikkan

Oleh: Agung Bawantara & Maria Ekaristi

Hujan di Bali mengalami anomali. Begitu pernyataan Kepala Sub Bidang Pelayanan Jasa Badan Meteorologi, Klimatologidan Geofisika Wilayah III Denpasar, Nyoman Suarsa, beberapa waktu lalu. Ia mengatakan bahwa fenomena alam secara global menyebabkan kecenderungan musim hujan di Bali datang lebih awal sehingga jangka waktunya akan terjadi lebih lama. Hal ini menyebabkan beberapa aktivitas wisata di Bali menjadi terganggu. Tapi bagi wisatawan yang ‘siap’, musim tak akan membuat rencana berlibur berantakan.

Sejauh ini, persepsi para wisatawan –terutama wisatawan domestik— mengenai liburan di Bali memang bersenang-senang menikmati suasana Bali dalam cuaca terang. Kemungkinan hal ini disebabkan karena negeri ini memiliki dua musim saja sehingga tanpa sadar membuat dikotomi yang tegas pada pikiran orang-orang. Langit terang mereka anggap sebagai gambaran keriangan, sedangkan hujan mereka anggap sebagai bentuk kemuraman. Tanpa sadar, banyak orang menjadi kurang suka pada hujan, terlebih pada saat berwisata.
Apalagi semua brosur wisata memperlihatkan Bali dalam suasana terang benderang. Maka begitu hujan, orang langsung merasa liburannya mendapat gangguan.

Tapi itu tidak terjadi pada Rio Helmi, fotografer kondang yang berdomisili di Ubud sejak tahun 1971. Rio yang karena profesinya telah puluhan kali mengelilingi dunia itu menyintai suasana hujan di Bali sama seperti dia menyintai suasana terangnya. Baginya, keduanya memiliki daya pesona tersendiri, sebagaimana pesona musim salju menjelang dan musim-musim lainnya di negeri-negeri yang memiliki empat musim.

It's a perfectly fine day in sunny paradise!” begitu ungkapnya saat ia menikmati guyuran hujan di halaman rumahnya di Ubud.

Ini mungkin bisa menjadi inspirasi menarik buat anda yang tengah berlibur di Bali saat ini. Di tengah musim hujan yang mengalamianomali, bisa jadi satu dua perjalanan liburan anda tersela hujan yang datang tanpa diduga. Tetaplah riang. Nikmati suasana itu sebagai suasana indah yang hanya ada di Bali. Cepat ubah rencana awal anda, misalnya menggantinya dengan berjalan di dalam hujan. Jangan khawatir anda akan jatuh sakit karenanya. Keasaman air hujan di Bali masih bagus. Asal, begitu usai melakukan wisata hujan, keringkan kepala dan badan anda dengan handuk.

Maka, hujan tiba-tiba mengguyur anda di perjalanan dan anda tak membawa baju ganti, santai saja. Di Bali banyak kios-kios kecil yang menjual baju dan celana dengan harga murah. Anda tinggal membeli lalu mengganti pakaian anda yang basah di toilet-toilet umum di tempat-tempat wisata atau di pompa bensin.

Jadi, terang atau hujan sama saja. Tetaplah riang menikmati liburan anda di Bali.

Hide

/

Lebih Detil Tentang Subak: Berbagi Air, Berbagi Kebahagiaan

Oleh : Prof. I Gde Pitana

Subak merupakan or- ganisasi petani di Bali yang mengelola air irigasi untuk anggota-anggotanya. Sebagai suatu organisasi, subak mempunyai pengurus dan awig-awig (aturan-aturan keorganisasian), baik tertulis maupun tak tertulis. Subak memiliki sumber air bersama. Sumber air bersama ini dapat berupa empelan (bendungan) di sungai, mata air, air tanah, ataupun saluran utama suatu sistem irigasi yang melingkupi beberapa subak.

Sebuah Subak mempunyai satu areal persawahan. Di hulunya terdapat sebuah atau beberapa Pura Bedugul atau pura yang berhubungan dengan persubakan.

Di seluruh Bali, terdapat tak kurang dari 1274 Subak. Semuanya didasari oleh ajaran Tri Hita Karana yang mengajarkan agar setiap orang selalu mengupayakan keseimbangan antara pengabdian manusia kepada Tuhan (Parahyangan) dengan pelayanan mereka terhadap sesame manusia (Pawongan), serta kecintaan merawat alam lingkungan (Palemahan) agar tetap lestari.


Sistem irigasi Subak mempunyai fasilitas fisik yang mirip dengan fasiitas irigasi yang dimiliki oleh system irigasi lain. Protitipe sistem fisik subak antara lain terdiri atas:
- empelan (bendungan) yang berfungsi sebagai bangunan pengambilan air dari sumbernya
- aungan (terowongan)
- telabah (saluran primer)
- tembuku aya (bangunan bagi primer)
- telabah gede (saluran sekunder)
- tembuku gede (saluran bagi sekunder)
- telabah pemaron (saluran tersier)
- tembuku pemaron (bangunan bagi tersier)
- telabah penyahcah (saluran kuarter)
- tembuku penyahcah (bangunan bagi kuarter) terdiri dari penasan untuk sepuluh anggota (kanca)
- tembuku pengalapan (bangunan pemasukan air individual)
- talikunda (saluran individual)

Subak juga mempunyai beberapa bangunan pelengkap seperti penguras (flushing), pekiuh (over flow) dan petaku (bangunan air terjun). Abangan (talang) juga umum ditemui pada subak. Demikian juga jengkawung (gorong-gorong).

Umumnya Subak mempunyai saluran pembuangan khusus. Air buangan dari satu petak sawah akan disalurkan kembali ke saluran irigasi.

Di samping fasilitas yang secara langsung digunakan untuk kepentingan irigasi, Subak juga mempunyai fasilitas upacara keagamaan berupa pura subak dengan berbagai tingkatan. Pura Subak yang paling umum adalah Pura Bedugul.

Di daerah-daerah Bangli dan Gianyar dikenal pura-pura Masceti yang disungsung (disokong dan dihidupi) oleh sejumlah subak dalam satu wilayah tertentu. Pura Subak biasanya dilengkapi pula dengan Balai Timbang. Di samping pura subak, umumnya setiap petani anggota Subak juga mempunyai sanggah-sanggah pengalapan yakni bangunan kecil untuk sarana sembahyang yang ditempatkan di dekat bangunan pemasukan air ke sawah masing-masing (tembuku pengalapan). Tempat persembahyangan ini dikenal juga dengan sebutan sanggah catu pengalapan.

Kelembagaan
Subak adalah organisasi petani yang bergerak dalam pengaturan air irigasi lahan basah (sawah). Karena faktor pengikat utamnya adalah air irigasi, maka anggota suatu subak adalah petani pemilik atau penggarap sawah yang dilayani oleh suatu jaringan atau sub jaringan irigasi tertentu, tidak memandang dari desa mana anggota tersebut berasal. Dengan kata lain, subak adalah organisasi petani yang canal based bukan village based.

Anggota suatu subak bisa berasal dari berbagai desa dan seorang petani dapat menjadi anggota beberapa subak. Walau ditemui adanya beberapa variasi tentang status keanggotaan dalam subak, secara umum anggota subak yang diistilahkan dengan karma subak dibedakan dalam tiga kelompok.
1. Krama pengayah (anggota aktif) yaitu anggota subak yang secara aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan subak seperti gotong royong pemeliharaan dan perbaikan fasilitas subak, upacara-upacara keagamaan yang dilakukan oleh subak, dan rapat-rapat subak. Di beberapa subak, anggota ini disebut juga karma pekaseh atau sekaa yeh.
2. Krama Pengempel atau Krama Pengoot (anggota pasif) yaitu anggota subak yang karena alas an-alasan tertentu tidak terlibat secara aktif dalamkegiatan-kegiatan (ayahan subak). Sebagai gantinya anggota ini membayar dengan sejumlah beras (atau uang) yang disebut pengoot atau pengampel. Besarnya pengoot ini biasanya disepakati dalam rapat subak menjelang musim tanam. Persyaratan untuk dapat menjadi anggota pasif bervariasi antar subak.
3. Krama Leluputan (anggota khusus), yaitu anggota subak yang dibebaskan dari berbagai kewajiban subak, karena yang bersangkutan memegang jabatan tertentu di dalam masyarakat seperti pemangku (pinandita di sebuah pura), bendesa adat (pimpinan desa adat), perbekel (kepala desa), ataupun sulinggih (pendeta, peranda, Sri Mpu, dan lain-lain).

Sebagai suatu organisasi, subak mempunyai unsur pimpinan yang disebut prajuru. Pada subak yang kecil struktur organsisi subak umumnya sangat sederhana yaitu terdiri dari anggota yang diketuai oleh satu orang ketua subak yang disebut kelihan subak atau pekaseh. Sedangkan pada subak-subak yang lebih besar, prajuru (pengurus) terdiri dari Pekaseh (ketua Subak), Petajuh (wakil pekaseh), Penyarikan (sekretaris), Patengan atau Juru Raksa (bendahara), dan Saya (pembantu khusus).

Prajuru subak, Kecuali Juru Arah dan Saya, dipilih oleh anggota subak dalam suatu rapat yang diadakan khusus untuk itu, untuk masa jabatan tertentu. Biasanya lima tahun. Sedangkan juru arah dan saya biasanya dijabat secara bergantian oleh anggota subak dengan masa tugas 35 hari atau 210 hari. Kedua perioda tersebut masing-masing satu bulan dan enam bulan menurut perhitungan penanggalan tradisional Bali.

Subak-subak yang besar biasanya terbagi menjadi sub subak yang disebut dengan Tempek. Di wilayah Badung, Tempek disebut dengan Munduk, sedangkan di Buleleng disebut Banjaran. Tempek atau Munduk atau Banjaran dipimpin oleh seorang kelihan yang didampingi oleh penyarikan (sekretaris) dan juru raksa (bendahara).

Untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti koordinasi dalam distribusi air dan upacara pada suatu pura, beberapa subak dalam suatu wilayah bergabung dalam suatu wadah koordinasi yang disebut Subak Gede. Subak-subak yang menjadi anggota Subak Gede umumnya berada dalam satu kawasan irigasi. Namun, ada pula Subak Gede yang anggotanya adalah subak-subak yang memiliki sistem irigasinya masing-masing. Subak Gede dipimpin oleh Pekaseh Gede. Lebih jauh lagi, untuk tujuan koordinasi dalam kegiatan-kegiatan subak di sepanjang suatu aliran sungai, beberapa subak membentuk organisasi federasi subak yang disebut Subak Agung yang dipimpin oleh seorang Sedahan Agung.

Seluruh sistem organisasi subak tersebut dirancang dan diwarisi secara turun-temurun oleh masayarakat petani di Bali untuk kelancaran pembagian air di lahan persawahan yang merupakan penyangga utama kehidupan masyarakat dan adat istiadat di selama berabad-abad. Ya, sistem pembagian air itu merupakan cara bersama untuk berbagi kebahagiaan.

Sumber: “Subak Sitem Irigasi Tradisional di Bali”, Upada sastra , 1993.

Tulisan Terkait:
Subak, Sistem Irigasi Tradisional Bali

Hide