Archive for October 2009

/

Mpu Gandrung dari Tegal Kuwalon

Ini sesuatu yang menarik. Di tengah menipisnya semangat untuk khusyuk-masyuk dalam aktivitas yang non-komersial, dua anak muda justru getol menekuni aktivitas pembuatan keris pusaka. Yang unik, penjualannya bukan berdasarkan kecocokan harga sebagaimana yang terjadi dalam dunia komersial, melainkan berdasarkan pesanan dan cocok-tidaknya aura keris buatan mereka bagi calon pembeli. Itulah yang terjadi pada Made Gde Suardika dan Nyoman Gede Eka Saputra, dua kaka-beradik asal Banjar (dusun) Tegal Kuwalon, Desa Sumesrta Kaja, Denpasar Timur. Keduanya membuat keris bukan untuk dijual-belikan, melainkan hanya untuk pesanan pusaka atau perlengkapan upacara di pura.

Jika kamu datang ke ‘sanggar kerja’ milik mereka, kamu akan menyaksikan bagaimana kedua mpu keris muda tersebut membenamkan besi dalam bara api lalu menempanya menjadi bentuk yang diinginkan. Di situ kamu dapat membayangkan bagaimana mpu keris pada zaman kerajaan dahulu melakukan pekerjaannya. Betapa tidak, Suardika dan Saputra menjalankan proses pembuatan kerisnya persis seperti apa yang dituliskan dalam lontar-lontar kuno. Untuk membuat sebilah keris pusaka, mereka menghabiskan waktu sedikitnya enam bulan, karena harus menentukan hari baik dan beberapa syarat lainnya.

Tentang terjunnya kakak-beradik itu ke dunia ke-mpu-an, cukup unik. Prosesnya berawal dari dari diabaikannya permintaan untuk meneruskan tradisi leluhur sebagai pembuat keris oleh
kepada sang ayah, I Ketut Suwandi. Mendadak kedua anak muda itu, Suardika dan Saputra, sakit keras. Sejumlah dokter tak mampu mengatasinya. Lalu datang petunjuk gaib melalui medium yang memerintahkan Suwandi, untuk bersedia menjadi pembuat keris. Begitu ia bersedia, kedua anaknya pun sembuh dalam jangka yang tak begitu lama. Sejak saat itu, selain Suwandi, Suardika dan Saputra pun turut tekun menjadi pembuat keris pusaka.

Bukan Gandring, tapi Gandrung
Tentang keris, Suwandi dan kedua anaknya berkisah bahwa senjata tersebut merupakan senjata yang sangat akrab dengan masyarakat Bali. Selain sebagai pusaka, senjata penusuk jarak dekat ini kerap digunakan oleh masyarakat di Pulau Dewata ini dalam berbagai kegiatan upacara agama maupun adat. Meski begitu, keberadaan mpu pembuat keris di Bali saat ini terbilang sangat langka. Di seantero Bali, jumlahnya bisa dihitung hanya dengan jari sebelah tangan saja.

Sejatinya, keris bukan hanya milik orang Bali. Ia juga merupakan senjata adat suku-suku bangsa di Nusantara dan suku-suku bangsa di Malaysia, Brunei Darussalam, Sabah, Thailand, Kamboja, Laos, dan Filipina Selatan.

Di Nusantara sendiri, banyak cerita heboh berkaitan dengan jejak keberadaan keris dari masa ke masa. Satu di antaranya, yang tergambar dalam kitab Pararaton, tentang keris buatan Mpu Gandring yang mendudukkan seorang jelata bernama Ken Arok menjadi raja Tumapel menggantikan Akuwu Tunggul Ametung. Meski diwarnai kemelut berdarah, sejarah mencatat keris tersebut menjadikan keturunan Ken Arok sebagai raja-raja Jawa.

Mengenai hal ini, Suwandi tak ingin meniru jejak Sang Mpu sakti itu. Ia dan anak-anaknya memilih menjadi mpu gandrung. Gandrung berarti senang atau cinta.

“Biarlah keris-keris yang kami hasilkan menebarkan aura cinta dan menjadikan pemiliknya gandrung dengan kedamaian dan harmoni,” ucap Suwandi diamini kedua putranya.

Hide

/

Perang Ketupat di Kapal

Ini adalah tradisi warga Desa Adat Kapal, Kabupaten Badung. Sebuah “perang” yang setiap tahun digelar di desa tersebut, yakni prani tipat alias perang ketupat. Pesertanya, ya masyarakat desa itu sendiri. Yang laki-laki, tentunya. Mereka membentuk dua kelompok yang berhadap-hadapan. Mereka kemudian saling melempar ketupat ke arah kelompok di hadapannya. Menurut tradisi, perang tersebut dilakukan sehari setelah purnama ke empat.

Tradisi sejak 1970-an ini merupakan ritual yang elibatkan dua kelompok laki-laki bertelanjang dada. Masing-masing mempersenjatai diri mereka dengan sejumlah ketupat dan kue bantal nasi. Begitu perang dinyatakan mulai, kedua kelompok tersebut saling menyerang kubu lawan dengan melemparkan ketupat atau kue bantal itu ke arah “lawan”. Tidak ada aturan khusus terkait perang ketupat ini. Semua pemain bebas melempar ke arah mana pun di kubu lawan.

Bagi masyarakat desa Kapal tradisi ini dipercayai bisa mendatangkan kesejahteraan. Menurut Bendesa Adat Kapal Gde Dharmayasa, perang tipat merupakan simbol kemakmuran. ''Ritual ini juga sebagai bentuk rasa sukur kami terhadap kelimpahan yang sudah diberikan Tuhan pada kami," paparnya. Ia memaparkan bahwa saling lempar ketupat tersebut hanyalah bentuk ekspresi semata. Intinya, ketupat dan nasi tersebut dipersembahkan kepada Semesta Raya. Setelah itu, dinikmati bersama-sama oleh masyarakat.

Jika tak menjalankan tradisi ini, kami khawatir sawah-sawah akan mengalami paceklik," imbuh Dharmayasa. (abe/jjb)

Foto: repro Miftahuddin- Radar Bali

Hide