Archive for April 2010

/

Topeng Sidakarya, Tarian untuk Kesempurnaan Ritual

Oleh : Agung Bawantara

Topeng Sidakarya adalah bagian dari pementasan tari topeng yang mengiringi sebuah upacara besar di Bali. Topeng Sidakarya dianggap sebagai pelengkap upacara-upacara tersebut. Topeng ini tampil sebagai pamungkas tari persembahan (wewalen) sebelum acara pemujaan bersama yang dipimpin oleh Sulinggih dilakukan.

Pementasan Topeng Sidakarya ini bermula dari sebuah peristiwa menarik yang terjadi saat masyarakat Bali menggelar upacara besar di Pura Besakih pada zaman kekuasan Raja Dalem Waturenggong sekitar abad XV. Saat itu, datang seseorang dari Keling, mencari penanggungjawab upacara (Manggala Karya) tersebut yang tak bukan adalah sahabatnya.

Karena rupa dan penampilannya yang buruk, saat menanyakan keberadaan sang Sahabat, tamu Keling tersebut diusir oleh oarng-orang Besakih agar tak “mengotori” proses upacara. Tamu Keling itu murka dan melontarkan kutukan agar upacara tidak berjalan sukses.

Upacara besar itu pun gagal. Sang Manggala Karya menyesali tindakan orang-orang sekitarnya yang bertindak gegebah. Ia mencari sang tamu dan memintanya menyabut kutukan. Sebagai ungkapan penyesalan, Sang Manggala Karya memberikan sahabat Kelingnya itu tempat tinggal di desa Sidakarya (Denpasar Selatan). Dia kemudian dikenal dengan julukan Dalem Sidakarya.

Sejak saat itu, untuk kesuksesan penyelenggaraan ritual, pada setiap upacara besar di Bali, Dalem Sidakarya selalu dihadirkan dalam pementasan tari topeng. Atau, kehadirannya digantikan dengan tirta (air suci) yang diambil dari Pura Dalem Sidakarya yang terletak di Denpasar Selatan.

Catatan: Tulisan ini disarikan dari berbagai sumber
Foto-foto: Widnyana Sudibia

Hide

/

Meamian-amianan, Saat Para Dewa Beranjangsana

Oleh: Heru Amri

Kabupaten Karangasem ternyata punya segudang tradisi unik yang masih lestari hingga saat sekarang. Selain Geret Pandan di Tenganan, Ter Teran di Jasi, masih ada tradisi unik lainnya yang cukup menarik untuk disaksikan. Di Desa Adat Asak, Kecamatan Karangasem, ada tradisi Meamian-amianan yang digelar dua tahun sekali pada Purnama Kedasa (ke-sepuluh).

Tahun ini, tradisi itu kembali digelar selama dua hari berturut-turut yakni tanggal 30- 31 maret 2010 lalu. Para warga terutama kaum lelaki berkumpul di Pura Desa Adat Asak sekitar pukul 16.00 WITA untuk bersiap mengarak jempana yaitu semacam joli yang digunakan untuk mengusung pretima (benda suci) milik desa.

Jempana tersebut kemudian digotong ke Beji Toya Ijeng yang berjarak sekitar satu kilometer dari Pura Desa. Beji adalah sumber mata air yang disucikan oleh masyarakat setempat. Di tempat itulah seluruh jempana disucikan.

Yang menarik dari prosesi ini adalah adanya aksi saling dorong-mendodong antara pengusung jempana satu dengan pengusung jempana lainnya. Hal ini berlangsung sekembalinya jempana-jempana tersebut dari beji sebelum distanakan di Bale Agung. Masyarakat setempat percaya bahwa ada kekuatan niskala (gaib) yang menggerakkan para pengusungnya untuk melakukan aksi dorong mendorong tersebut. Sumber kekuatan niskala itu terletak pada jempana yang mereka usung masing-masing. Tak jarang, kekuatan jempana-jempana tersebut menggerakkan pengusungnya untuk berlari kencang hingga berkilo-kilo meter jauhnya.

Tak diketahui secara pasti sejak kapan tradisi ini mulai berlangsung. Tokoh masyarakat Desa Adat Asak, I Nyoman Winata, pun menggelengkan kepalanya ketika ditanyai soal ini.

“Ini tradisi turun temurun yang telah dilakukan oleh leluhur kami,” ucapnya datar sembari menerangkan bahwa Meamian-amianan merupakan padanan kata dari beranjang sana dan bersuka cita. Karena itu masyarakat setempat memaknai upacara meamian-amianan ini sebagai saat beranjangsana dan bersukacitanya para dewa.

Sebelum meamian-amianan dilaksanakan, ada beberapa prosesi yang mengawali yakni melasti (25/3), tuhunan teruna atau pengukuhan pemuda secara adat (28/3), Meyaban dan Nyolahang Ida Betara (29/3) malam.

Foto: HK Amri

Hide