Archive for March 2010

/

Omed-omedan, dari Tarik-tarikan Menjadi Cium-ciuman

Oleh: Agung Bawantara

Omed-omedan atau juga disebut Med-medan adalah acara ciuman massal yang rutin digelar oleh warga Banjar Kaja, Desa Sesetan, Denpasar Selatan, pada setiap setiap tanggal 1 tahun Caka, atau sehari setelah Hari Nyepi. Menurut cerita masyaraat setempat, acara ini sudah diwariskan sejak tahun 1900-an. Omed-omedan melibatkan sekaa teruna-teruni atau pemuda-pemudi umur 17 tahun hingga 30 tahun atau yang sudah menginjak dewasa namun belum menikah. Dalam bahasa Bali, Med-medan sama dengan paid-paidan, berarti saling tarik menarik. Jadi med-medan adalah ritual saling tarik-menarik antara kelompok pemuda dengan kelompok pemudi untuk memohon keselamatan seluruh warga desa.

Prosesi med-medan dimulai dengan persembahyangan bersama untuk mohon keselamatan. Usai sembahyang, peserta dibagi menjadi dua kelompok, laki-laki dan perempuan. Kemudian kedua kelompok tersebut mengambil posisi saling berhadapan di jalan utama desa. Setelah seorang sesepuh desa memberikan aba-aba, kedua kelompok saling mendekat. Bnegitu bertemu, peserta terdepan saling tarik menarik lalu berciuman disaksikan ribuan penonton. Prosesi tersebut dilakukan secara bergantian sehingga semua peserta kebagian berciuman.

Tidak semua masyarakat Bali, bahkan masyarakat Sesetan Kaja sendiri, menyukai tradisi ini. Pernah
pada 1970-an para sesepuh banjar memutuskan agar acara ini ditiadakan. Namun, tak lama berselang, di pelataran Pura terjadi perkelahian yang amat seru dua ekor babi, dan keduanya menghilang begitu saja di tengah perjelahian. Oleh warga, peristiwa itu dianggap sebagai pertanda buruk. Maka, med-medan pun kembali dilangsungkan.

Jauh sebelum itu, ada kisah menarik mengeni med-medan. Saat itu, begitu Hari Nyepi usai, masyarakat Puri Oka, sebuah kerajaan kecil di Denpasar selatan, menggelar permainan med-medan alias saling tarik-menarik antara kelompok pemuda dan pemudi. Saking serunya, acara tarik-menarik itu berubah menjadi acara saling merangkul dan situasi berubah gaduh karenanya. Raja yang saat itu sedang sakit pun marah besar.Dengan terhuyung-huyung beliau keluar hendak menghardik warganya. Namun, begitu melihat adegan itu, tiba-tiba sakit Sang Raja mendadak sirna dan ia pun sehat seperti sediakala. Raja lalu mengeluarkan titah agar med-medan dilaksanakan tiap tahun saat ngembak geni (menyalakan api pertama) setelah Hari Nyepi.

Begitu diselenggarakan lagi, giliran Pemerintah Kolonial Belanda yang terusik melihat upacara itu. Belanda melarang ritual itu, namun warga yang taat tidak menghiraukan larangan itu. Acara ciuman massal itu pun berlangsung hingga sekarang.

Catatan: Pelengkap bahan tulisan dan foto-foto dari berbagai sumber

Hide

/

Pawai Ogoh-ogoh, Kreativitas yang Tak Kenal Ogah

Oleh: Agung Bawantara

Ini adalah acara rutin tahunan. Diselenggarakan sehari menjelang Hari Nyepi, serangkaian dengan pelaksaaan upacara Tawur Kesanga, yakni upacara kurban yang ditujukan untuk menyeimbangkan kehidupan manusia dengan Bhuta Kala (roh halus) yang hidup di sekitarnya. Sesuai ajaran Tri Hita Karana, penganut Hindu di Bali tidak mengenal penghancuran atau pengusiran roh, sejahat apa pun dia. Menurut keyakinan mereka, roh tersebut berhak hidup sebagaimana layaknya manusia. Yang terpenting bagi mereka, keduanya tidak saling mengganggu. Karena itulah orang Bali menyelenggarakan upacara-upacara serta aktivitas kehidupan khusus lainnya untuk menyeimbangkan kehidupan mereka dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud termasuk tumbuhan, hewan, roh dan benda-benda. Pawai Ogoh-ogoh sendiri merupakan pelengkap dari ritual Tawur Kesanga tersebut.

Sejatinya, Ogoh-ogoh di Bali muncul pada awal tahun 1980-an. Ia muncul dari kreativitas anak muda Bali untuk memeriahkan malam Pangerupukan, sehari menjelang Hari Nyepi. Sebelumnya, ritual ini hanya diisi dengan pawai obor yang ditingkahi dengan riuh bunyi kentongan dan benda-benda bersuara nyaring lainnya. Ritual ini dilakukan di masing-masing rumah dengan meneriakkan “Magedi kala, kelod kaku laku!” (Pergilah wahai roh-roh, pergilah ke tempatmu). Setelah itu, penduduk bergabung dan melakukan pawai keliling desa.

Belakangan, anak-anak muda kreatif memvisualkan Bhuta Kala itu dalam bentuk ogoh-ogoh (boneka besar) berwajah seram. Sosok yang dibuat dari anyaman bambu dan kertas tersebut diarak keliling desa lalu dibakar di alun-alun desa. Hingga kini tak jelas di desa mana mula-mula ogoh-ogoh tersebut dibuat. Yang pasti, kreativitas tersebut menjalar cepat ke seluruh Bali dan hingga kini menjadi tradisi yang tak terpisahkan dari ritual menjelang Hari Nyepi.

Sebagaimana gerak kreativitas, sosok ogoh-ogoh mengalami perkembangan terus menerus. Bermula dari kejemuan anak-anak muda membuat ogoh-ogoh yang begitu-begitu saja, yakni sosok bhuta kala sebagaimana layaknya sosok patung-patung Bali, mereka membuat sosok ogoh-ogoh yang unik. Maka lahirlah ogoh-ogoh berbentuk rudal scud saat perang Irak ramai berkecamuk, muncul pula ogoh-ogoh pemuda gondrong mengendarai Harley Davidson sambil memegang minuman keras, lalu ada ogoh-ogoh cewek café, penyanyi dangdut Inul Daratista, terpidana mati pelaku bom Bali Amrozi, dan banyak lagi.



Semakin lama, ogoh-ogoh sebagai simbol bhuta kala pun mulai bergeser pula. Di beberapa tempat masyarakat memaknai ogoh-ogoh sebagai simbol bumi (alam) yang harus diselaraskan dengan kehidupan manusia. Karena itu, ogoh-ogoh mereka tidak berwajah seram melainkan mengambil tokoh pahlawan dalam epos Mahabharata dan Ramayana, atau cerita purana lainnya. Maka lahirlah ogoh-ogoh Hanuman yang tengah bertempur melawan naga.



Dari pandangan lain, seluruh rangkaian upacara menjelang Hari Nyepi, termasuk arak-arakan ogoh-ogoh adalah bentuk ekspresi batin orang Bali untuk me-nyomya (menetralisir) sifat-sifat bhuta kala dalam diri mereka sendiri. Karena itulah, setelah menetralisir sifat jahat dalam diri, keesokan harinya mereka melakukan hening selama 24 jam penuh untuk kemudian terlahir kembali sebagai manusia baru. Hal inilah yang membuat orang Bali tak pernah merasa ogah untuk membuat ogoh-ogoh, meskipun karena berbagai alasan, arak-arakan ogoh-ogoh ini sempat dilarang oleh Pemerintah.



Hide

/

“Nginjak Bumi” di Kampung Grembeng, Karangasem

Oleh : Heru Amri

Peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW atau Maulid Nabi memiliki arti yang sangat penting bagi penduduk Muslim Karangasem, Bali. Hal itu terlihat dari masih adanya perayaan-perayaan terhadap hari sekalipun bulan Rabiul Awal jelang berakhir dan segera akan digantikan oleh bulan Rabiul Akhir.

Di Kampung Gerembeng Atas, misalnya. Minggu (7/3) lalu, perayaan Maulud Nabi dilaksanakan dengan tradisi Ngurisang, yaitu menguris rambut puluhan bayi di kampung setempat. Prosesi pemotongan rambut bayi tersebut diiringi dengan pembacaan Shalawat. Sepintas, tradisi ini menunjukan adanya akulturasi Hindu dan Islam. Karena dalam pelaksanaannya banyak mempergunakan sarana kembang dan air.

Tradisi ini sendiri terbagi dalam tiga tahapan. Setelah pemotongan rambut bayi, tradisi ini kemudian dilanjutkan dengan Mejurag. Kata mejurag sendiri berasal dari Bahasa Bali yang berarti berebut. Memang dalam Mejurag yang dilakukan di halaman masjid ini dilakukan pelemparan uang koin bercampur kembang yang kemudian direbut oleh ratusan anak-anak. Uang koin yang dilemparkan tersebut adalah pecahan Rp 500 dan Rp 1.000.

Setelah Mejurag, acara disusul dengan upacara Nginjak Gumi. Pada tahapan ini, bayi yang telah dipotong rambutnya dimandikan dengan air kembang. Lalu, oleh orang tuanya sang bayi dituntun untuk menginjakan kakinya ke atas sejumlah sarana yang ditempatkan di atas tanah.

"Kalau Ngurisang bermakna pembersihan. Sedangkan Nginjak Bumi bermakna doa agar kelak si anak mampu mandiri menjalani kehidupannya dengan serba kecukupan," ujar Rohani, seorang ibu yang bayinya mengikuti proses tersebut.

Setelah ketiga acara utama tersebut usai, perayaan dilengkapi dengan pemotongan nasi Kebuli. Nasi berbahan beras ketan ini dicampur dengan ayam suwir dan lawar kelapa. Campuran tersebut kemudian dibentuk menjadi tumpengan besar.

Dan, seperti perayaan Maulid yang biasa ditemukan di Bali, pembagian nasi Kebuli ini disertai dengan pembagian telur hias kepada para undangan yang hadir. Sementara para anak-anak kemudian melanjutkan kegiatan dengan mengikuti panjat pinang.

Sejarah Islam di Karangasem
Menurut catatan sejarah, masuknya Islam ke Karangasem yang merupakan masa-masa awal masuknya Islam ke Bali. Itu bermula saat Raja Karangasem, Anak Agung Ketut Karangasem, menyerang Pulau Lombok sekitar tahun 1690. Dalam penyerangan tersebut, Raja Karangasem berhasil menaklukkan kerajaan Pejanggik dan menguasai sebagian wilayah Kerajaan Mataram atas jasa Pangeran Dadu Ratu Mas Pakel, putra Raja Mataram. Sebagai tanda jasa Pangeran Dadu Ratu Mas Pakel beserta pengikutnya yang beragama Islam diberi tempat terhormat di Karangasem. Ketika meninggal, jasad Sang Pangeran dimakamkan di Istana Taman Ujung. Komunitas inilah yang menjadi cikal-bakal kampung-kampung Islam di wilayah Karangasem.

Beberapa dekade kemudian, datang Sunan Mas Prapen (cucu Sunan Giri) mendirikan Masjid Ampel, sekitar 500 meter dari Puri Karangasem. Masjid tersebut dibangun di atas tanah seluas 4.500 meter persegi pemberian Raja Karangasem. Arsitektur Masjid Ampel Karangasem serupa dengan Masjid Ampel, Gresik Jawa Timur yang memiliki empat pilar sebagai soko guru yang menopang atap bersusun dua. Pada sisi-sisi masjid terdapat tiga pintu masuk terbuat dari kayu. Di dalam masjid terdapat 12 pila-pilar pendukung pilar utama tadi. (chairul/abe/jjb)

Lihat juga:
Wisata Masjid di Bali

Hide