Archive for February 2010

/

Gambuh

Oleh : Agung Bawantara

Gambuh adalah tarian dramatari Bali yang dianggap paling tinggi mutunya dan merupakan dramatari klasik Bali yang paling kaya akan gerak-gerak tari sehingga dianggap sebagai sumber segala jenis tari klasik Bali.Diperkirakan, Gambuh ini muncul sekitar abad ke-15 yang lakonnya bersumber pada cerita Panji. Gambuh berbentuk total theater karena di dalamnya terdapat jalinan unsur seni suara, seni drama & tari, seni rupa, seni sastra, dan lainnya.

Pementasannya dalam upacara-upacara Dewa Yadnya seperti odalan, upacara Manusa Yadnya seperti perkawinan keluarga bangsawan, upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan lain sebagainya. Diiringi dengan gamelan Penggambuhan yang berlaras pelog Saih Pitu. Tokoh-tokoh yang biasa ditampilkan adalah Condong, Kakan-kakan, Putri, Arya / Kadean-kadean, Panji (Patih Manis), Prabangsa (Patih Keras), Demang, Temenggung, Turas, Panasar dan Prabu. Dalam memainkan tokoh-tokoh tersebut semua penari berdialog, umumnya bahasa Kawi, kecuali tokoh Turas, Panasar dan Condong yang berbahasa Bali, baik halus, madya dan kasar.

Di Bali, hanya sedikit desa yang memiliki kesenian Gambuh. Salah satu desa yang terkenal dengan kesenian Gambuhnya adalah Desa Pedungan, Denpasar. Gambuh ini merupakan kelompok seni istana yang berkaitan erat dengan Puri Satria dan Puri Pemecutan. Ia mendapat perlindungan dan pengayoman dari penguasa di kedua puri tersebut. Besarnya perhatian raja pada kesenian Gambuh pada waktu itu menyebabkan Gambuh Pedungan tumbuh dan berkembang dan melahirkan penari-penari Gambuh handal. Satu di antara penari Gambuh yang sangat terkenal adalah I Gede Geruh (almarhum).

Kini, dengan semakin memudarnya kekuasaan puri, Gambuh pun menjadi milik kelompok atau banjar yang bersangkutan. Kelompok Seni Gambuh yang masih aktif hingga kini terdapat di desa Batuan (Gianyar), Padang Aji dan Budakeling (Karangasem), Tumbak Bayuh (Badung), Pedungan (Denpasar), Apit Yeh (Tabanan), Anturan dan Naga Sepeha (Buleleng).

Sumber:
"Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali" (I Wayan Dibia, Guru Besar ISI Denpasar)
"Masa Keemasan Kesenian Gambuh" (Wardizal, Dosen Seni Karawitan ISI Denpasar)

Foto:
Widnyana Sudibya


Tulisan Terkait:
Pasang Surut Gambuh Pedungan di Tengah Laju Budaya Global


Hide

/

Warung Lawar Penatih, Bumbu Wangen Tiga Generasi

Oleh: Maria Ekaristi & Agung Bawantara

Warung ini didirikan pada tahun 1957 oleh I Made Pegeg. Mula-mula berupa sebuah warung sederhana disebuah gang yang letaknya tak jauh dari warung yang sekarang. Menu pada saat didirikan adalah lawar godel (sapi muda). Karena lezat dan khas warung milik Pak Pegeg itu langsung ramai pengunjung. Meski demikian, ahli lawar ini tetap bersahaja. Ia tetap bertahan dengan sajiannya yang sederhana dan harganya yang murah. Tapi, kesederhanaan itu justru semakin membuat warung lawar Pak Pegeg menjadi terkenal. Orang-orang menyebutnya Warung Lawar Penatih.

Karena usia yang semakin renta, perlahan-lahan Pegeg menurunkan kemahirannya meracik bumbu kepada putrinya Ni Ketut Ribug, dan kemudian menyerahkan pengelolaan warung itu kepadanya.
Tahun 1982, karena berbagai pertimbangan Ni Ketut Ribug memindahkan lokasi warung beberapa meter di seberang warung yang lama. Pada saat-saat tersebut, selain di warung, penjualan juga dilakukan berkeliling ke tempat-tempat di mana tajen (sabungan ayam) tengah digelar.
Itu berlangsung hingga beberapa tahun lamanya.

Kembali karena pertimbangan usia, Ni Ketut Ribug menurunkan keahlian memasaknya pada putranya, I Wayan Nanu. Sekaligus juga menyerahkan pengelolaan warung itu ke pemuda alumnus Fakultas humum Universitas Udayana tersebut. Di tangan Nanu, warung ini mengalami perubahan menu dari godel menjadi babi dan bebek. Alasannya, karena daging godel semakin sulit didapat dan harganya semakin melangit.

Tahun 1996, Nanu, memindahkan lokasi warung ke lokasi yang ditempati hingga sekarang. Yakni di jalan Padma, Denpasar Utara.

Kini warung sederhana itu sudah berubah menjadi bangunan permanen dua lantai. Di situlah layanan dibuka sejak pukul delapan pagi hingga pukul lima sore. Setiap harinya, warungi itu dikunjungi tak kurang dari 150 pembeli, rata-rata berusia di atas 30 tahun. Menu tetap sampai saat ini adalah : lawar, sate, ares, daging goreng, urutan.

Menurut nanu, rahasia sukses Warung Lawar Penatih ini adalah kesetiaannya menjaga rasa yang kuat dari bumbu wangen.

“Sebagai pewaris, saya berusaha mempertahankan apa yang telah dirintis oleh kakek dan ibu saya,” Papar Nanu.

Hide