Archive for June 2009

/

Maulid Nabi di Pegayaman: Ekspresi Bali, Hati Islami

Pegayaman adalah nama sebuah desa tua di pedalaman Bali utara. Letaknya sekitar 75 kilometer dari Kuta.Sebagian besar penduduknya adalah Muslim. Mereka instens menerapkan budaya Bali dalam kehidupan sehari-hari sembari tetap menjaga kemurnian ajaran agamanya: Islam. Penduduk desa ini sekitar 3 ribu jiwa. Sebagian besar penduduk bertani dan berkebun (kopi dan cengkeh).

Memahami masyarakat Desa Pegayaman sebaiknya dimulai dengan menyaksikan perayaan Maulid Nabi di kampung itu. Perayaan maulid di sana merupakan pesta budaya. Sepekan penuh masyarakat di sana bergembira menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dimulai dengan membuat tape, membuat jaje uli (penganan dari ketan), lalu mempersiapkan sokok base dan sokok taluh, mengarak sokok dan pawai keliling desa, dilanjutkan dengan pegelaran pencak silat setiap sore.

Perayaan Maulid di Pegayaman di awali dengan Muludan Base (Maulid Sirih) pada 12 Rabiul Awal, tepat hari kelahiran Nabi Muhammad. Perayaan ini dilakukan dengan membuat sokok base, yaitu rangkaian dauh sirih, kembang, dan buah-buahan.

Kata sokok diduga berasal dari Bahasa Jawa, soko, yang berarti tiang. Memang rangkaian ini terdiri dari tiang utama yang terbuat dari batang pisang yang didirikan di atas sebuah dulang. Pada tiang tersebut ditancapkan beberapa batang bilah bambu. Pada bilah bambu itulah sirih, kembang, dan buah-buahan dirangkai. Sokok base sangat mirip dengan pajegan yang dibuat masyarakat Hindu di Bali saat berupacara di pura pada hari-hari tertentu.

Puluhan sokok base yang dibuat masyarakat itu dibawa ke masjid, dideretkan di tengah-tengah lingkaran orang yang akan membacakan barzanji (karya sastra Arab klasik yang berisi riwayat dan puji-pujian kepada Nabi Muhammad).

Usai membaca barzanji, rangkaian sokok base dibongkar. Kembang dan daun sirih dibawa pulang, diletakkan di dinding rumah atau di sawah. Konon rangkaian daun sirih dan kembang bekas sokok base itu dapat mendatangkan berkah untuk rumah atau sawah.

Pada hari kedua, Desa Pegayaman benar-benar berada dalam pesta besar. Seluruh masyarakat sibuk dengan kegiatan maulid itu. Laki-perempuan, besar-kecil bersuka ria dalam perayaan yang mereka sebut dengan Muludan Taluh (Maulid Telur). Pada hari itu puluhan sokok taluh, yaitu rangkaian serupa sokok base namun dilengkapi dengan telur, diusung ke masjid. Di sepanjang jalan, masyarakat berjejal menyaksikan iring-iringan sokok keliling desa. Iring-iringan itu dimeriahkan oleh tabuhan rebana dari sekehe (kelompok) Hadrah yang begitu meriah. Tabuhan burde (sebangsa rebana besar yang terbuat dari bungkil pokok pohon kelapa) yang ditabuh sejak pagi hingga sore, membuat suasana perayaan semakin gempita.

Ketut Syahruardi Abbas (50), putra Pegayaman yang kini menetap di Denpasar dan berprofesi sebagai penulis, sangat bangga dengan tradisi ini. "Dalam konteks kebudayaan dan ibadah ini, tradisi ini pantas diacungi jempol. Pendiri desa Pegayaman mampu memasukkan berbagai unsur kebudayaan tanpa mengingkari esensi keberagamaan,” ucapnya.

Menurut Abbas, yang pernah memimpin berbagai media di Bali, masyarakat Pegayaman sama sekali tidak merasa risih mengarak sokok base dengan mengenakan pakaian khas Bali. Bagi mereka perayaan ini hanyalah sebuah ekspresi budaya. Ini sangat berbeda dengan perayaan Idul Fitri dan Idul Adha. Pada kedua hari raya itu masyarakat Pegayaman, hanya datang ke Masjid menyelenggarakan shalat Ied, sama dengan masyarakat Muslim lainnya. Memang mereka menambahkan rangkaian hari-hari menjelang hari-H, yakni penapean (hari membuat tape pada hari H-3), penyajaan (hari membuat jajan pada hari H-2), penampahan (hari memotong hewan pada hari H-1), dan manis lebaran (sehari setelah hari H), sama seperti yang dilakukan umat Hindu menjelang hari Galungan. ”Tapi, semua itu sama sekali tidak masuk ke masjid, tidak merupakan bentuk ibadah,” tandas Abbas.

Hide

/

Jogging Track Sanur dilengkapi AMO

Masyarakat dan Pelancong yang bertandang ke Pantai Segara Ayu, Sanur, Denpasar, kini dapat menikmati fasilitas baru di kawasan itu. Sejak Minggu (28/6/2009) lalu, jalur jogging pantai itu telah dilengkapi dengan anjungan Air Minum Otomatis (AMO), sarana penyediaan air siap minum untuk umum. Dengan memasukkan koin Rp 500 ke alat itu, kamu dapat menikmati air segar yang lansung dapat kamu minum.

Layanan ini diprakarsai oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Denpasar yang rencananya akan dikembangkan di tempat-tempat umum dan kawasan wisata. Pengoperasian perdana AMO dilakukan oleh Walikota Denpasar, IB. Rai Dharmawijaya Mantra, yang kemudian mengundang masyarakat dan wisatawan (lokal dan asing) yang kebetulan berada di sekitar situ untuk berbaur dan menikmati air siap minum.

Hide

/

Mi Hangat di Cafe Me

Seperti namanya, "Café Me" menjadikan berbagai olahan mi sebagai menu andalannya. Menu-menu andalan tersebut antara lain pangsit goreng yang renyah dengan baluran saos yang pas. Ada juga bakmie ayam (chicken noodle) dengan campuran sup ayam, jamur dan sawi hijau, dengan racikan bumbu yang juga pas. Cafe ini terletak di Jl. Pulau Kawe No 33B Denpasar, 200 meter di sebelah selatan simpang enam Teuku Umar. Tempat dan layout ruangannya cukup menyenangkan dan memanjakan. Ada 200 kursi nyaman, sofa, AC, LCD TV dengan puluhan saluran international, serta fasilitas Free Wifi.

Selain mi, "Cafe Me" juga menyediakan menu Nusantara dan Eropa. Juga beragam pilihan minuman dari yang tradisional hingga cocktail. Soal harga? Tidak mahal, kok! Harga seporsi makanan di Cafe Me berkisar antara Rp. 15 ribu hingga Rp 42 ribu. Mau coba? Datang saja langsung ke Jl. Pulau Kawe No. 33B, Denpasar, telp. (0361) 243333 atau 7424653 (ek/jjb)

Hide

/

Pelancong Aussie Positif Flu Babi

Bobie Masoner, 22, dinyatakan positif terinfeksi flu A H1N1 atau flu babi. Kepastian itu didapat setelah perempuan Inggris yang mukim di Melbourne Australia menjalani perawatan selama tiga hari di ruang isolasi Nusa Indah, RSU Sanglah. Pelancong yang datang ke Bali, Jumat (19/6) lalu menggunakan Garuda Indonesia GA 719 rute Victoria-Denpasar tersebut kini ditangani secara intensif. Pihak Dirjen Departemen Kesehatan RI bahkan langsung terbang ke Bali begitu mendapatkan kepastian itu. Mereka hendak mengetahui secara langsung kondisi wanita tersebut.

Sebagai langkah pengamanan dan pengendalian, Kepala Dinas Kesehatan Bali, dr Nyoman Sutedja MPH, memerintahkan jajarannya untuk melakukan pengontrolan dan mengidentifikasi 40 penumpang pesawat Garuda Indonesia GA 719 yang terbang dari Victoria-Bali. Sebagian dari penumpang tersebut telah diidentifikasi dan kini tengah dikontak dan diharapkan untuk untuk datang untuk melakukan observasi ke RSU Sanglah.

“Penumpang lain yang belum bisa kami identifikasi kami harapkan untuk datang juga melakukan observasi," imbau Sutedja.

Dinas Kesehatan juga melakukan kerja sama dengan Persatuan Hotel Republik Indonesia (PHRI) guna menyiagakan dokter klinik di setiap hotel untuk deteksi lebih cepat jika ada pasien yang memiliki gejala serupa dengan Bobie.

Kerabat Bobie yang bermukim di Jimbaran diminta untuk tidak keluar rumah untuk sementara waktu. Mereka juga tidak diizinkan menjenguk Bobie. Kini tim dokter yang menangani Bobie, melakukan penanganan sesuai dengan protap yang direkomendasikan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Hasilnya, kondisi Bobie sudah membaik. Suhu tubuhnya sudah dalam kondisi normal.

Selain menangani Bobie, RS Sanglah juga tengah menangani seorang suspect flu babi yang datang ke rumah sakit tersebut hari Selasa (23/6/2009) lalu. Dia adalah George Coltman, 12, remaja Australia yang datang ke Bali satu pesawat dengan Bobie.

Selain Bobie dan George, Kamis (25/6/2009) tujuh wisatawan asal Australia juga dirujuk ke RSU Sanglah untuk hal serupa. Mereka dirujuk ke rumah sakit terbesar di Bali itu setelah mereka memeriksakan diri ke klinik swasta di Jimbaran karena mengalami flu. Mengetahui ketujuh pelancong tersebut berasal dari negara tertular, apalagi mereka terbang dengan pesawat yang sama dengan yang ditumpangi Bobie.

Setelah menjalani pemerikasaan, dari ketujuh warga Australia itu hanya dua orang yang ditengarai memiliki indikasi terserang virus H1N1 sehingga harus dirawat intensif. Mereka adalah Tayla Marlo (14) dan James Antonuccio (10). Lima lainnya; Cam Antonuccio (48), Joana Antonuccio (46), Ameron Antonuccio (15), Diana Marlo (45) dan Silvia Marlo (45) diberi obat dan diperbolehkan pulang serta disarankan untuk selalu mengisi Health Allert Card (HAC) dan tidak keluar dulu dari tempat mereka menginap. (abe/jjb- dari bali post, radar bali)


Berita Terkait:
Bali Tingkatkan Bio Security untuk Tangkal Flu Babi

Hide

/

“Mimpi” Putu Bule, Menyentakkan Kesadaran

Arena Pesta Kesenian Bali ke-31 dimeriahkan oleh penampilan seniman-seniman luar negeri. Satu di antara mereka adalah kelompok seniman dari Departmen of Theatre, The College of Holy Cross, Worcester-Massachusetts, USA. Bekerja sama dengan Sanggar Seni Citta Usadhi, Kabupaten Badung mereka mementaskan drama tari musikal lintas budaya (Bali-Amerika) berjudul “Mimpi”.

Dipentaskan pertama kali tahun 2004, di Holy Cross College, Massachusetts-Amerika Serikat, garapan ini adalah hasil kolaborasi antara Lynn Kremer (USA) dengan dua seniman Bali: Desak Made Suarti Laksmi dan I Nyoman Catra. Cerita inti yang dikisahkan dalam garapan ini di ambil dari cerita anak-anak, Bangau Putih yang juga terdapat di banyak negara seperti Jepang dan Rusia.

Untuk persiapan pementasan di arena PKB ini, Prof. Kremer dan krewnya telah berlatih di Sanggar Seni Citta Usadi di Mengwi Tani, Kabupaten Badung, dan melakukan uji coba di sanggar seni GEOKS Singapadu, Senin (22/06/09) lalu.

Drama musikal ini berkisah tentang pertemuan seorang pemuda tukang tenun bernama Putu (dimainkan oleh Thomas Layman), dengan seorang gadis jelmaan seekor bangau putih yang pernah diselamatkannya dari badai salju yang mengancam jiwanya. Setelah perkawinan mereka, sang istri menawarkan diri untuk menenun selembar kain yang bisa dijual di pasar guna memenuhi kebutuhan hidup mereka yang miskin. Satu syarat yang diajukan, sang suami tidak boleh melihatnya ketika sang istri sedang menenun di dalam ruangan gelap. Lahirlah kain tenun yang indah.

Ketika menjualnya di pasar, si Putu bule itu teramat takjub begitu kain buatan istrinya dibeli dengan harga sangat mahal. Hal itu menjadikan Putu terpesona dan lupa diri. Ia meminta istrinya untuk menenun lagi kain yang lebih baik agar bisa dijual dengan harga yang lebih mahal. Sang istri menyanggupinya, namun mengatakan bahwa itulah yang terakhir kali baginya.

Namun, begitu kain ke dua laku dengan harga yang melambung tinggi, Putu kembali memaksa istrinya untuk sekali lagi menenun kain yang lebih indah. Karena cintanya, si putri bangau terpaksa menurutinya sembari mengingatkan bahwa permintaan itu bisa menyebabkan kematian dirinya.

Ketika sang istri tidak muncul-muncul dari ruang penenunan dalam waktu yang lebih lama daribiasanya, Putu diam-diam mengintip dari balik kelambu. Ia begitu terkejut ketika mengetahui bahwa istrinya yang tiada lain seekor bangau putih yang sedang mencabik-cabik bulunya untuk ditenun menjadi selembar kain. Terkejut dan ketakutan, bangau putih pun terbang dan tidak pernah kembali lagi.
Peristiwa dramatis itu membuat Putu tersentak dari mimpinya dan menyadari bahwa keserakahan kerap justru membuahkan kehilangan besar.

Pertunjukan ini didukung oleh 14 pemain tamu, yang memperkuat para pemain “asli” yang datang dari Amerika Serikat. Nyanyian-nyanyian dan teks dalam garapan ini diambil dari berbagai sumber antara lain: cerita Bali; Living in Two World, The Dancing Pig, The Crane Wife, Tibet Through the Red Box, Blossoms of Longing, dan Dammapada.

Hide

/

Utsawa Dharma Gita, Olah Vokal Plus Keimanan

Dalam setiap penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali, acara Utsawa Dharma Gita tak pernah ketinggalan untuk diadakan. Utsawa Dharma Gita merupakan lomba pembacaan sloka-sloka yang diambil dari kitab-kitab Hindu. Utsawa Dharma Gita pertama kali dilaksanakan di Denpasar, pada 1978. Pembacaan sloka-sloka tersebut bukan asal membaca, melainkan melagukannya dengan tembang-tembang Bali yang pas.

Mengenai tembang, di Bali terdapat berbagai jenis tembang yang mempunyai struktur dan fungsi yang berbeda-beda. Masyarakat Bali membedakan seni suara vokal ini menjadi empat kelompok yaitu Sekar Rare yang meliputi berbagai jenis lagu anak-anak yang bernuansa permainan; Sekar Alit atau tembang macapat yang menyakup jenis-jenis tembang yang diikat oleh hukum padalingsa (jumlah baris dan jumlah suku kata); Sekar Madya atau kekidungan yang meliputi jenis-jenis lagu pemujaan; dan Sekar Agung yang meliputi lagu-lagu berbahasa Kawi yang diikat oleh hukum guru-lagu (suara panjang-pendek).

Jika Sekar Rare dan Sekar Alit lebih banyak dinyanyikan untuk aktivitas pertunjukan, Sekar Madya dan Sekar Agung pada umumnya dinyanyikan dalam kaitan upacara, baik upacara adat maupun agama.

Sekar Rare
Tembang ini umumnya memakai bahasa Bali lumrah, bersifat dinamis dan gembira yang dalam melakukannya disertai dolanan (permainan). Kelompok tembang ini juga menyakup gegendingan (lagu-lagu rakyat) yang sederhana. Beberapa contoh jenis tembang ini antara lain: Meong-meong, Juru Pencar, Ongkek-ongkek Ongke, Indang-indang Sidi, Galang Bulan, Ucung-ucung Semanggi, dan Pul Sinoge. Bait-bait jenis tembang ini ada yang seluruhnya merupakan isi dan ada pula yang sebagian merupakan sampiran.


Sekar Alit
Tembang Sekar Alit dikenal juga dengan tembang macapat, geguritan, atau pupuh, sangat diikat oleh hukum padalingsa yang terdiri dari guru wilang dan guru dingdong. Guru Wilang adalah ketentuan yang mengikat jumlah baris pada setiap satu macam pupuh (lagu) serta banyaknya bilangan suku kata pada setiap barisnya. Bila terjadi pelanggaran pada guru wilang ini, maka kesalahan ini disebut elung. Sedangkan guru dingdong adalah uger-uger yang mengatur jatuhnya huruf (vokal) pada tiap-tiap akhir suku kata. Pelanggaran atas guru dingdong ini disebut ngandang.

Istilah macapat sesungguhnya sebuah istilah dari bahasa Jawa yang berarti sistem membaca empat-empat suku kata (ketukan). Jenis-jenis tembang macepat yang terdapat di Bali dan yang masih digemari oleh masyarakat adalah Pupuh Sinom, Pupuh Ginada , Pupuh Durma , Pupuh Dangdang , Pupuh Pangkur, Pupuh Ginanti, Pupuh Semaradana, Pupuh Pucung, Pupuh Mas Kumambang , Pupuh Mijil, Pupuh Megatruh, Pupuh Gambuh, Pupuh Demung, Pupuh Adri.

Masing-masing pupuh mempunyai ekspresi kejiwaan yang berbeda-beda. Untuk ekspresi aman, tenang, atau tenteram, dipergunakan pupuh-pupuh sinom, lawe, pucung, mijil, dan sinada candrawati; untuk membangun suasana gembira, roman, serta meriah dipergunakan pupuh seperti sinom lumrah, sinom genjek, sinom lawe, ginada basur, dan adi megatruh; untuk suasana sedih, kecewa, atau tertekan digunakan pupuh seperti sinom lumrah, sinom wug payangan, semaradana, ginada eman-eman, mas kumambang, dan demung; sedangkan untuk suasana marah, dan tegang dipergunakan pupuh durma dan sinom lumrah.

Sekalipun telah memiliki ekspresi tersendiri, namun cara melagukan dapat pula mengubah ekspresi yang ada pada pupuh tersebut.

Sekar Madya
Kelompok tembang yang tergolong sekar madya pada umumnya mempergunakan bahasa Jawa Tengahan, yaitu seperti bahasa yang dipergunakan dalam lontar cerita Panji atau Malat, dan tidak terikat dengan guru lagu maupun padalingsa. Yang ada adalah pembagian-pembagian seperti Pangawit (Pembuka), Pamawak (bagian yang pendek), Panawa (bagian yang panjang, dan Pangawak (bagian utama dari tembang).

Tembang-tembang yang tergolong ke dalam kelompok ini di antaranya yang paling banyak adalah Kidung atau Kakidungan. Kidung diduga datang dari Jawa pada sekitar abad XVI sampai abad XIX, akan tetapi kemudian kebanyakan ditulis di Bali. Hal ini dapat dilihat dari struktur komposisinya terbukti dengan masuknya ide-ide yang terdiri dari Pangawit, Panawa, dan Pangawak yang merupakan istilah-istilah yang tidak asing lagi dalam tetabuhan Bali. Di Bali kidung-kidung selalu dimainkan bersama-sama dengan instrumen. Lagu-lagu kidung ini ditulis dalam lontar tabuh-tabuh Gambang dan oleh karena itulah laras dan namanya banyak sama dengan apa yang ada dalam Pegambangan, mempergunakan laras pelog (Pelog 7 nada) yang terdiri dari 5 nada pokok dan 2 nada pamero/tengahan. Modulasi yaitu perubahan tangga nada di tengah-tengah lagu sangat banyak digunakan.

Beberapa jenis kidung yang masih ada dan hidup di Bali antara lain: Aji Kembang, Kaki Tua, Sidapaksa, Ranggadoja, Rangga Lawe, Pamancangah, Wargasari, Pararaton, Dewaruci, Sudamala, Alis-alis Ijo, Bramara Sangut Pati, Caruk, Bhuksah.

Selain Kidung, ada pula jenis tembang lain yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok Sekar Madya, yakni Wilet dengan jenis-jenisnya meliputi: Mayura, Jayendria, Manjangan Sluwang, Silih Asih, Sih Tan Pegat.

Sekar Agung
Jenis tembang Bali yang termasuk dalam kelompok Sekar Ageng ini adalah Kakawin. Kakawin adalah puisi Bali klasik yang berdasarkan puisi dan bahasa Jawa Kuna. Dilihat dari segi matra penggunaan bahasanya, Kakawin banyak mengambil dasar dari puisi Sanskerta yang kemudian distilisasikan dan disesuaikan, sehingga mempunyai kekhasan sendiri. Dapat diduga bahwa Kakawin ini diciptakan (dikomposisikan) di Jawa dari abad IX sampai XVI. Kakawin ini sangat diikat oleh hukum guru lagu. Di dalam Kakawin terdapat bagian-bagian seperti Pangawit (penyemak) yang artinya pembukaan, Panampi (pangisep), Pangumbang dan Pamalet.

Kakawin biasanya dimainkan dalam aktivitas Mabasan (pesantian) di mana Kakawin dilagukan dengan diselingi terjemahannya. Masyarakat Bali mengenal banyak kekawin seperti: Aswalalita, Watapatia, Wangeasta, Prtiwitala, Wasantatilaka, Sardulawikradita, Wirat, Girisa, Puspitagra, Tanukerti, Cekarini, Saronca.

Di samping tembang-tembang di atas, masih ada beberapa jenis untaian kata bertembang yang sukar untuk dimasukkan ke dalam kelompok-kelompok yang berkembang. Jenis-jenis kata bertembang yang dimaksud adalah:
1. Sasonggan: Kalimat kiasan yang dapat dipakai untuk menggambarkan suatu peristiwa;
2. Bladbadan: Kalimat yang mengandung arti kiasan;
3. Wawangsalan: Kalimat bersajak;
4. Sasawangan: Kalimat perbandingan;
5. Papindaan: Kalimat perbandingan;
6. Tandak: Kalimat yang dilagukan, melodinya diharmoniskan dengan nada yang diikutinya;
7. Panggalang: Tembang Pendahuluan;
8. Sasendon: Semacam tandak yang dipergunakan untuk menggarisbawahi suatu drama.

Untuk dapat menyanyikan tembang-tembang di atas dengan baik, seorang penembang harus memiliki: suara bagus dan tahu mengolahnya, nafas panjang serta tahu mengaturnya, mengerti masalah laras (slendro dan pelog), mengerti tetabuhan dan menguasai prihal matra, tahu hukum/uger-uger yang ada pada masing-masing kelompok tembang, dan memahami seni sastra. (sda/jjb/ berdasarkan tulisan Prof. Dr. I Wayan Dibia)

Hide

/

Pentas "Diah Larasati": Semua Orang Sama Mulia

Ini pemandangan unik sekaligus mengharukan di arena Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-31. 15 penari penyandang tunadaksa (cacat anggota tubuh) yang tergabung dalam Yayasan Senang Hati, Tampaksiring, Gianyar memamerkan kebolehan di Kalangan Angsoka, Senin (22/06/09).

Kekurangan fisik tidak menyurutkan semangat mereka untuk mengekspresikan diri lewat kesenian. Kelompok yang dimotori Ni Putu Suriati itu tampil memukau lewat persembahan seni drama gong bertajuk 'Diah Larasati'.

Dengan penuh percaya diri, para penyandang tunadaksa tersebut melakonkan kisah perjuangan mereka untuk menuntut ilmu di sekolah formal. Mereka tampil ditopang dengan alat bantu sesuai dengan kecacatan mereka. Ada yang tampil dengan bantuan kursi, ada pula yang dengan tongkat penyangga.

Dengan segala keterbatasan fisik mereka mengekspresikan setiap lakon secara baik. Setiap karakter mereka mainkan dengan sangat natural. Hal itu disebabkan karena kisah yang mereka perankan tersebut diangkat dari pengalaman keseharian mereka sendiri. Di sinilah letak kelebihan Putu Suriati dan kawan-kawan. Mereka tak memilih cerita yang muluk-muluk, melainkan cerita yang mereka kenal dan mereka hayati dengan baik.

Dalam cerita tersebut, Diah Larasati (diperankan oleh Sang Ayu Nyoman Puspa) melambungkan impiannya untuk menuntut ilmu di sekolah formal. Namun impian tersebut dihalangi oleh ibunya, Permaisuri Dinarwati (diperankan oleh Dewa Ayu Sasih). Alasan Sang Ibu, Diah Larasati adalah seorang anak yang cacat. Mendapati hambatan tersebut, putri Kerajaan Nangun Cipta itu sempat larut dalam kesedihan yang dalam. Namun, semangatnya yang besar membuat dia mendorong dia untuk tak terbenam dalam kesedihan dan keputusasaan. Dengan tekad yang teguh Diah Larasati memberontaki keadaan itu. Dia melarikan diri dari istana untuk meraih impiannya di Sekolah Senang Hati…

Selain drama gong 'Diah Larasati', siang itu Yayasan Senang Hati juga menampilkan Janger, sebuah seni pergaulan yang didukung sepuluh penari Janger (perempuan) dan delapan penari Kecak (laki-laki). Seluruh persembahan tersebut diiringi gamelan gong kebyar yang sebagian penabuhnya juga penyandang cacat. (abe/jjb)

Foto-foto: I Nyoman Wija - Radar Bali

Hide

/

The Lokha, Hotel Murah di Jantung Legian

Terletak hanya 200 meter dari pantai Legian, merupakan kebanggaan bagi hotel ini. Dengan menempati lokasi tersebut menjadikan The Lokha sebagai hotel yang ideal bagi pelancong yang hendak menikmati degup jantung kawasan yang dikenal sebagai area yang tidak pernah tidur ini. Meski begitu, The Lokha menambahi keunggulannya dengan menyediakan suasana yang nyaman dan layanan yang ramah.

Dari Bandara Ngurah Rai, kamu hanya membutuhkan waktu 10 menit untuk mencapai hotel berdesain perpaduan antara modern dan tradisional Bali ini. Sebaliknya, dari hotel ini kamu hanya membutuhkan waktu 10 menit ke Pantai Kuta, 20 menit ke Pelabuhan Benoa, 30 menit ke Nusa Dua, Uluwatu atau Sanur. Tapi jika hendak ke Ubud, kamu perlu waktu sedikitnya satu jam.

Hotel ini memiliki dua buah kolam renang yang asri. Satu di antara kolam renang tersebut dilengkapi dengan pool bar yang menyediakan berbagai makanan ringan dan minuman eksotik sejak pukul 10 pagi hingga pukul 07 malam. Hotel menyediakan tenaga pijat tradisional yang cakap jika kamu ingin di pijat di sisi kolam.

Fasilitas lain di hotel ini antara lain Lokha Corner yang terletak dekat reception desk. Lokha Corner ini adalah sebuah restauran yang melayani pesanan menu Indonesia hingga Continental dan Western. Restoran ini tampung 80 orang. Buka pukul 07 pagi hingga 10.30 malam. Tersedia juga Lobby Bar yang terletak di dekat lobby hotel yang buka setiap hari dari pukul 10 pagi hingga 01 malam.

Di hotel ini juga tersedia cabled hot spot, televisi satelit, laundry, pijat tradisional, tempat duduk bayi (atas permintaan), indoor check in, dokter panggilan.

Sedangkan fasilitas yang tersedia dalam setiap kamar di hotel ini antara lain: wardrobe, safety box, TV, peralatan pembuatan teh dan kopi, IDD Line, refrigerator, AC, hanger, AC/TV remote control, hair dryer, pembuka tutup botol, kotak tissue, air panas/dingin, bath tub/shower dan hot spot.

Di hotel ini juga tersedia Candle Light Dinner. Makan malam spesial ini digelar di sisi kolam renang dengan taburan cahaya lilin, hiasan meja yang anggun dan taburan beragam bunga di
sisi kolam tersebut. Hidangannya, tentu saja hidangan spesial yang memanjakan lidah dan perasaan. Untuk dapat menikmati makan mala mini kamu dikenai bayaran sebesar sekitar U$ 35 per orang. Harga ini sudah termasuk sajian romantic cocktail.

Kalau kamu tertarik menginap di hotel ini, datang saja langsung ke Jl. Padma, Legian telepon (0361) 767 601 (Hunting). Bias juga memesannya melalui e-mail : reservation@ thelokhalegian.com atau sales@thelokhalegian.com.

Harga kamar:

Superior
Single $ 120
Double $ 120





Deluxe

Single $ 140
Double $ 140





Super Deluxe

Single $ 170
Double $ 170





Waktu Check in di hotel ini pukul 2 siang, waktu check out jam 12 siang.

Hide

/

Nasi Séla Karangasem

Nasi séla adalah campuran nasi putih dan cacahan ubi berukuran kecil. Nasi jenis ini, populer di Bali pada tahun –tahun sebelum 1970-an. Itu karena pada saat tersebut beras sangat langka di Bali sehingga harus dicamput dengan ubi, gaplek atau bahan makanan lainnya untuk menambah volume. Sekarang, makanan jenis ini menjadi kelangenan yang asyik. Apalagi beberapa warung di Bali kini menyajikannya dengan pasangan yang serasi, seperti yang disuguhkan di stand kuliner Kabupaten Karangasem di arena Pesta Kesenian Bali (PKB) 2009. Di stan ini, nasi séla yang mulanya merupakan makanan “pertahanan di masa krisis”, menjadi hidangan yang begitu memanjakan selera.

Nasi séla di stan Karangasem yang diawaki oleh Nengah Sekerti (52 tahun) disuguhkan dengan lauk ayam betutu, urab sayur kacang panjang berisi timun dan kacang merah, pindang tongkol, pesan celengis, sambel matah, sambal teri, dan sate kulit ayam. Semuanya diolah dengan bumbu khas Bali yang didominasi rasa terasi dan bebungkilan (kencur, laos, kunyit, jahe, bawang putih).

Dalam racikan Sukerti, rasa bumbu yang menyatu dengan sayur, ikan dan daging membuat rasa ubi yang tercampur dalam nasi luluh. Andaikata tak tahu bahwa ada ubi di dalamnya, kamu pasti akan menyangka nasi yang kamu makan tersebut adalah nasi dari beras tulen!

Di luar ajang PKB, Sukerti biasanya membuka warung makan di jalan Ngurah Rai, Amlapura. Persis di depan RSU Karangasem. Namanya, “Warung Mek Luh”. Selain nasi séla, di warung ini kamu dapat menemukan makanan khas Bali lainnya seperti Ayam Betutu dan Tipat Blayag.

Harga seporsi nasi séla di “Warung Mek Luh” Rp 10 ribu. Murah, kan?

Hide

/

Penjor Kreasi PKB, Arjuna Bertapa di Bilah Bambu

Penjor adalah salah satu sarana perlengkapan dalam upacara-upacara besar di Pura, juga untuk merayakan hari Galungan. Penjor merupakan simbol gunung yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan, sekaligus sebagai ungkapan syukur atas kesejahteraan yang dilimpahkan oleh Tuhan dalam manifestasinya sebagai Hyang Giripati.


Penjor terbuat dari sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan daun kelapa/ daun enau yang muda serta daun-daunan lainnya.

Setelah dihias, penjor dilengkapi dengan pala bungkah (umbi- umbian), pala gantung (buah-buahan), pala wija (biji- bijian) dan jajanan. Penjor juga dilengkapi dengan 11 uang kepeng, serta sanggah untuk meletakkan sesajen. Pada ujung penjor yang melengkung, digantungkan sampian yaitu rakitan janur yang dilengkapi dengan porosan (sirih-pinang) dan bunga.

Tapi di arena Pesta Kesenian Bali 2009 penjor tak semata-mata begitu. Dalam lomba penjor yang diadakan oleh panitia PKB, ada enam buah penjor yang jarang ditemukan di seantero Bali. Penjor tersebut dihias dengan sangat telaten oleh para peserta sehingga menjadi sebuah karya seni yang sangat memikat.

Menggunakan bambu pilihan yang panjang, besar dan lengkungannya baik, penjor-penjor tersebut dihias sedemikian rupa menampilkan sosok-sosok yang menyiratkan fragmen tertentu dalam Mahabarata. Karena penjor merupakan simbol gunung, sebagian peserta menghiasinya dengan fragmen Arjuna Wiwaha dengan menampilkan sosok Arjuna yang tengah bertapa di gunung Indrakila.

Peserta lomba penjor ini antara lain Nusa Dua Beach Hotel & Spa, Sanur Paradise Plaza Hotel & Swites, Sanur Beach Bali, Hard Rock Hotel Bali, dan The Patra Bali.

Hide

/

Wrdhi Cwaram, Orkestra Seruling dari Padang Sambian

Dalam musik Bali, seruling sangat jarang ditempatkan sebagai instrumen utama yang berdiri sendiri. Bahkan dalam musik Gambuh yang terdiri dari banyak seruling (dengan ukuran yang panjang dan besar) pun instrumen ini dipadukan dengan instrumen lain untuk membuat sebuah komposisi tertentu. Namun, berbeda dengan yang dilakukan oleh kelompok seni “Werdhi Cwaram”, Padang Sambian- Denpasar, mereka menggunakan seruling sebagai alat instrumen utama untuk menyuguhkan berbagai komposisi.

Kebolehan memainkan komposisi dengan aneka seruling tersebut mereka pertontonkan di arena Pesta Kesenian Bali (PKB), Selasa 16 Juni 2009. Di depan puluhan pengunjung yang mengitari pelataran Gedung Kriya, mereka memainkan gending “Liar Samas” dan “Kempyung”, dua komposisi klasik karya maestro karawatian I Wayan Lotring. Biasanya, kedua komposisi tersebut dibawakan dalam barungan gamelan (orkestrasi Bali lengkap), namun malam itu disuguhkan hanya dengan seruling. Untuk memunculkan timbre dan warna suara yang berbeda, orkes seruling tersebut menggunakan beberapa jenis seruling dengan panjang dan diameter yang berbeda-beda.

Selain memainkan gending klasik, kelompok seni yang dipimpin oleh I Ketut Widianta ini juga memainkan komposisi kreasi baru karya musisi Bali I Wayan Yudana yang berjudul “Petingan Mati Manakan” . Komposisi ini dipilah menjadi tiga bagian quintet (double quartet). Materi bunyi disusun dengan teknik klasik-modern yang penuh kombinasi.

Komposisi lainnya, berjudul “Baskara” karya W. Ary Wijaya, juga menyajikan garapan komposisi klasik-modern yang menawan. Sayangnya, pertunjukan manis ini tak dilengkapi dengan penataan dekorasi panggung dan penataan lampu yang menunjang mood gending-gending yang dimainkan. (abe/jjb)

Hide

/

Warung Mak Beng, Spesialis Sea Food Sejak 1941

Warungnya sederhana. Penya- jian makanannya juga begitu. Tapi kelezatan rasanya, luar biasa. Itulah “WarungMak Beng”, warung sea food yang terletak di Jl. Hang Tuah No. 45, Sanur. Menu di warung yang didirikan Mak Beng pada 1941 ini memang istimewa. Sup kepala ikan yang menjadi andalannya sangat khas. Dengan racikan bumbu Bali yang kaya rempah, Mak Beng menjadikan ikan Jangki terasa begitu segar dan kesat. Jauh dari aroma amis. Dan, kelezatan itu dilengkapi dengan rasa gurih ikan Jangki goreng plus dengan cocolan sambal terasi yang mantap!

Karena keistimewaannnya itu, tak heran jika setiap hari warung ini selalu dipadati pelanggan. Anteran cukup panjang para pelanggan yang hendak makan di warung ini adalah pemandangan yang biasa. Mereka rela berdiri menunggu giliran hingga 30 menit. Namun, begitu mendapat tempat duduk, hidangan langsung tersedia dalam waktu tak lebih dari tujuh menit. Hal ini disebabkan karena begitu tamu datang, pelayan warung langsung menyakan menu dan jumlah pesanan, lalu segera menyiapkannya.

Kalau pas ke Bali dan ingin makan di warung ini, menujulah ke kawasan Sanur. Di perempatan depan Hotel Sanur Plaza Paradise, teruslah menuju ke arah pantai. Tak jauh, kok. Hanya sekitar 200 meter dari situ. Jika membawa kendaraan, kamu harus melewati “pos penjagaan” yang terletak di tengah jalan persis di depan gapura Inna Grand Bali Beach Hotel. Di situ, oleh pemuda berpakaian adat Bali kamu disodori tiket parkir. Untuk mobil, tiket itu berharga Rp 2 ribu. Untuk sepeda motor, Rp 1 ribu.

Hide

/

Grantangan, Bumbung-bumbung Pengiring Ngibing

Grantangan adalah sebuah barungan (kelompok) gamelan untuk mengiringi Joged Bumbung, tari pergaulan yang dibawakan oleh seorang penari remaja putri yang pada bagian tarinya mengundang penonton untuk menari bersama (ngibing).

Menurut Prof. Dr. I Wayan Dibia, guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar gamelan ini disebut Grantangan, karena instrumen pokoknya terdiri dari tingklik bambu berbentuk gerantang (semacam tabung). Gamelan ini berlaras selendro lima nada (sama seperti gender wayang) dan untuk memainkan instrumen gerantang penabuh memakai 2 panggul. Yang kanan memainkan kekembangan (ornamentasi), sedangkan yang kiri memainkan melodi pokok.

Grantangan pada umumnya terdiri dari: 4 buah gerantang besar, 4 buah gerantang kecil, 1 buah gong kemodong, 1 buah keleneng, 1 pangkon ricik, 1 buah kendang (berukuran sedang), 3 – 4 buah suling dan tawa-tawa. Di beberapa tempat gamelan Joged Bumbung juga dilengkapi dengan beberapa kepyak (sepasang tabung bambu yang pecah), dan juga reyong.


Hide

/

Joged-joged Bali

Joged adalah tari pergaulan yang sangat populer di Bali. Tari ini memiliki pola-pola gerak yang bebas, lincah, dan dinamis. Gerak-gerak dasar tari ini diambil dari Legong maupun Tari Kekebyaran, dan dibawakan secara improvisasi. Joged biasanya dipentaskan untuk perayaan sehabis panen atau pada acara hiburan pada hari-hari penting di Bali.

Tari Joged mempunyai banyak macam, meliputi: Joged Bumbung, Joged Pingitan, Joged Gebyog, Joged Pudengan (Udengan), dan Gandrung. Kecuali Joged Pingitan yang memakai lakon Calonarang, semua pertunjukan Joged selalu ditarikan secara berpasangan laki-perempuan dengan mengundang partisipasi penonton untuk ngibing. Bagian tersebut dinamakan paibing-ibingan. Pada bagian tersebut, penari Joged memilih (nyawat) penonton laki untuk diajak menari bersama di arena pentas.

Sebagai sebuah kesenian rakyat, tari Joged diiringi dengan barungan ngamelan yang didominasi oleh instrumen-instrumen bambu.

Di antara semua jenis Joged yang ada di Bali, Joged Bumbunglah yang paling populer di Bali. Joged yang diiringi grantangan yaitu gamelan tingklik bambu berlaras slendro ini diperkirakan muncul pada tahun 1946 di Bali Utara.

Sumber: "Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali" oleh Prof. Dr. I Wayan Dibia

Hide

/

Joged Kuta, Sajian Memesona di Kalangan Ayodya

Pertunjukan Joged Bumbung di hari ke-tiga Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-31 dipadati pengunjung. Tari pergaulan yang digelar di kalangan (teater arena) “Ayodya” ini marak oleh aksi para penari Joged yang cekatan memeragakan tarian serta meningkahi para pengibing yang tampil dengan berbagai gaya dan polah-tingkahnya. Kelompok Joged yang memperoleh kehormatan untuk tampil kali ini adalah Sanggar Tari “Kipas” Kelurahan Kuta.

Dari sejak tabuh pertama mulai didengungkan, suasana sudah langsung meriah. Ratusan penonton yang memadati kalangan Ayodya menikmati atraksi dengan antusiatik. Mereka memberi tepuk tangan meriah begitu tabuhan usai.

Ada satu tabuh dan enam tari kreasi yang mereka pertunjukkan. Tabuh dan tari tersebut adalah: Sasi Katilar Dalu, menyiratkan perasaan penyesalan dari seseorang yang terlambat mengambil keputusan penting dalam hidupnya; Puspa Mimba tentang keriangan muda-mudi merayakan masa remajanya; Silih Asih tentang upaya membangun saling pengertian antara dua insan yang tengah berkasih-kasihan; Kenyung Manis menyiratkan semangat berbagi senyum dari lubuk hati; Tungtung Tangis mengisahkan seseorang yang menyikapi kebahagiaan secara berlebihan lalu ketika keadaan berbalik, ia menandang duka berkepanjangan; Jobong melukiskan suasana percintaan yang mesra; dan Paksi Ngindang yang menyiratkan pesan untuk menyontoh burung yang terbang saat melihat persoalan yang pelik, yaitu berjarak dan memandangnya dengan obyektif.

Pertunjukan Joged arahan I Gusti Agung Gde Wirawan ini tak hanya diminati oleh penonton lokal. Puluhan wisatawan mancanegara pun turut menyaksikan, bahkan turun ke arena untuk mengibing.

Meski marak, beberapa penonton dan wartawan sedikit mengeluhkan penyelenggaraan pertunjukan ini. Latar berwarna merah dan atap klangsah (anyaman daun kelapa)yang tak rapat membuat cahaya matahari menerobos masuk membentuk bulatan-bulatan cahaya. Akibatnya, sangat sulit membuat foto untuk mengabadikan pementasan tersebut karena wajah cantik para penari tampak belang-bentong tertimpa cahaya.

Hide

/

Pawai PKB ke-31, Arak-arakan Kolosal yang Bersahaja

Percikan tirta (air suci) oleh gubernur Bali Made Mangku Pastika ke patung Cakrabhawa (roda kehidupan) menandai pelepasan pawai budaya Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-31 di depan balai banjar Kayu Mas Kaja, Jalan Surapati Denpasar, Sabtu (13/05/2009) lalu. Sebelum memercikkan tirta, gubernur sempat berdoa sejenak, untuk memohon keselamatan. Sedangkan ibu Pastika menaburkan bija (beras yang sudah disucikan) yang merupakan simbol kesuburan dan kemakmuran.

Begitu cakrabhawa berputar, arak-arakan pawai langsung dimulai, diawali dengan pementasan tarian kebesaran PKB, Siwa Nata Raja dengan iringan barungan Adi Merdangga mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.Gelaran itu kemudian disusul oleh arak-arakan kesenian dari seluruh kabupaten di Bali, dan peserta dari luar Bali termasuk para seniman asal Jepang.

Tema pawai kali ini tahapan hidup manusia Bali dari sejak dalam kandungan hingga kembali menghadap Sang Pencipta. Dengan gaya dan kekhasannya masing-masing, seluruh kabupaten di Bali menggambarkan fase-fase tersebut dalam atraksi yang menarik.

Secara keseluruhan, pawai budaya PKB kali ini berkesan lebih bersahaja dan egaliter. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, arak-arakan budaya kali ini tidak diisi dengan acara protokoler yang ketat dan membatasi gerak masyarakat.

"Ini (merupakan) perubahan konsep yang mendasar (dari tahun-tahun sebelumnya). Kami sengaja menyuguhkan pawai budaya ini untuk masyarakat, dan membuatnya akrab dengan masyarakat," ucap Drs. Made Adi Djaya, ketua panitia perhelatan seni tahunan kebagaan Bali ke-31 ini.

Memang terasa akrab. Sayangnya, perubahan konsep ini tak diiringi dengan lompatan imajinasi yang cukup oleh para peserta pawai. Sajian-sajian dalam arak-arakan tersebut nyaris sudah menjadi pemandangan sehari-hari bagi masyarakat Bali. Bagi masyarakat non Bali, sajian itu tampak seperti ritual tanpa jiwa.

Lalu, pengaturan jarak dan durasi atraksi dalam pawai yang kurang akurat membuat para pendukung pawai kelelahan. Mereka kemudian memborong air mineral lalu membuang kemasannya sembarangan di jalur pawai.

Catatan lain, jalur lintasan pawai tak mendapat "sentuhan" sama sekali. Umbul-umbul, spanduk dan baligo berbagai sponsor yang tak ada kaitannya dengan PKB berkibar bebas di sepanjang jalan Surapati-Hayaum Wuruk. Kabel-kabel listrik dan telepon yang melintang memotong jalan Hayam Wuruk juga sedikit menghambat perjalanan kendaraan hias peserta pawai yang berukuran tinggi.

Hide

/

Juni-Juli, Dewa Rare Angon Mengitari Langit Bali

Memasuki bulan Juni, langit di atas pulau Bali khususnya di kawasan Denpasar, Badung dan Tabanan mulai tampak seperti aquarium yang dipenuhi ratusan ikan hias. Cuaca cerah dan hembusan angin yang ajeg menyebabkan masyarakat di tiga kawasan ini bersuka cita menerbangkan layang-layang dengan berbagai jenis dan ukuran. Jenis yang paling populer adalah be-bean (berbentuk ikan), pecuk (menyerupai daun), dan janggan (menyerupai burung berekor panjang). Ukuran layang-layang tersebut beragam, mulai dari yang bergaris tengah 50 centimeter hingga enam meter.

Masyarakat di ketiga kawasan ini memang gemar menerbangkan layang-layang berukuran besar. Tak heran jika di dekat kawasan ini digelar parade atau lomba layang-layang, pesertanya selalu membludak. Parada layang-layang yang dinanti-nanti mereka adalah Bali Kite Festival (BKF) di pantai Padang Galak, Sanur, yang biasanya diselenggarakan pada bulan Juli.
Dalam festival tersebut, ketiga jenis layang-layang di atas selalu dilombakan, bahkan menempati porsi utama. Sedangkan kategori lain merupakan pelengkap untuk menambah daya tarik acara.

Di Bali layang-layang dibuat bukan untuk diadu, melainkan untuk dinikmati keindahan bentuk dan geraknya di udara. Para pecinta layang-layang Bali sangat peka terhadap bentuk dan proposi layang-layang. Setiap lekuk memancarkan kesan tersendiri bagi mereka. Sebuah layang-layang dengan bentuk dan proporsi yang tepat akan menimbulkan decak kagum berkepanjangan bagi mereka. Terlebih lagi jika layang-layang tersebut memiliki ukuran yang besar, ia terasa seperti sebuah karya seni yang bergengsi.

Soal warna, orang Bali hanya mengenal empat warna untuk layang-layang tradisional mereka yakni: hitam, merah, putih dan kuning. Bagi mereka, jika keempat warna tersebut ditata dengan tepat, maka saat terbang layang-layang tersebut akan tampak sangat anggun berlatarkan langit biru.

Selain bentuk dan warna, orang Bali menilai keindahan layang-layang dari keindahan liukannya. Mereka mengistilahkannya dengan elog. Layangan Be-bean, misalnya, tak dipandang oke jika tidak ngelog (meliuk) ke kiri-kanan seperti seorang penari. Namun begitu, elog yang berlebihan, dinilai kurang elok. Layang-layang macam begitu dinilai onyah (kurang anggun).

Berbeda dengan Be-bean, layang-layang jenis Janggan dan Pecuk justru akan memiliki nilai yang tinggi jika saat diterbangkan tetap stabil di posisinya. Pada layangan Janggan, yang dinikmati oleh meraka dalah gerakan ekornya yang bergelombang menyerupai gerakan air.

Jika tak sedang berlomba, seringkali sebuah layang-layang diterbangkan hingga ngambun yaitu menyelinap di balik awan. Biasanya ketinggian layang-layang yang ngambun tersebut sekitar 40 meter dari permukaan tanah.

Barangkali karena layang-layang berukuran besar, di mana saat menaikkannya harus mengerahkan 10 hingga 15 orang, maka begitu terbang mereka merasa sayang untuk segera menurunkannya. Mereka kerap membiarkan layang-layang mereka nginep alias bertahan di udara hingga berhari-hari lamanya. Hanya layang-layang yang benar-benar stabillah yang bisa di-inep-kan. Layang-layang yang demikian tidak langsung nyungsep ketika angin tak begitu kebcang di malam hingga pagi hari, dan tak goyah saat angin bertiup kencang di siang siang hari.

Menurut kepercayaan, banyaknya orang Bali gemar bermain layang-layang karena pengaruh vibrasi Dewa Rare Angon, Pelindung segala binatang peliharaan. Konon Sang Dewa sangat gemar bermain layang-layang. Pada bulan-bulan tertentu, ia mengatur agar cuaca selalu cerah dan angin berembus konstan untuk kegemarannya itu.

Hide

/

Jelang Pembukaan, Persiapan PKB ke-31 Digeber

Hari-hari terakhir jelang Pembukaan Pesta Kesenian Bali ke-31, Sabtu (11/5/2009), dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh panitia untuk mematangkan persiapan pelaksanaan perhelatan akbar ini. Pendirian stan-stan untuk pameran kerajian dan kuliner mulai dikebut. Semuanya ditata dan dihias dengan cermat. Latihan nomor-nomor pementasan yang akan digelar pada hari pembukaan pun digenjot secara maraton.

Di panggung terbuka Ardha Candra, misalnya, 25 penari Pendet (lima orang di antaranya Tuna Rungu) melatih kekompakan gerak dan komposisi. Begitu usai, panggung tersebut langsung digunakan oleh puluhan penari dari tim Dinas Kebudayaan Provinsi Bali untuk berlatih pementasan tari kolosal “Bima Swarga”. Kedua tari tersebut akan tampil di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat upacara pembukaan pesta kesenian kebanggan masyarakat Bali itu.

Untuk memompa semangat para seniman yang akan tampil, Wakil Gubernur Bali, AA Ngurah Puspayoga yang saat ini memegang kendali pengembangan seni-budaya Bali, datang menyaksikan proses persiapan tahap akhir tersebut. Berbaur dengan para tokoh kesenian seperti I Made Bandem, I Wayan Dibia, dan I Nyoman Catra, Mantan Walikota Denpasar ini dengan sabar mendampingi para seniman lintas generasi ini berlatih hingga usai.

Sementara itu, di titik-titik yang telah ditentukan di sepanjang jalan Surapati-Hayam Wuruk pembangunan panggung-panggung kehormatan untuk acara Pawai Budaya Pesta Kesenian Bali ke-31, mulai dikerjakan. Meskipun sedikit menghambat laju lalu-lintas, proses pembanguan tersebut tidak sampai memacetkan jalur utama menuju kawasan Sanur itu.

Seperti yang telah diberitakan, panitia menyediakan tiga panggung kehormatan bagi para undangan untuk menyaksikan Pawai Budaya Pesta Kesenian Bali ke-31. Panggung kehormatan pertama ditempatkan di depan Banjar Kayu Mas. Dari panggung tersebut Gubernur Bali, Ketua DPRD Bali, Para Bupati/Walikota dari seluruh Bali menyaksikan gelaran parade budaya. Panggung kehormatan kedua ditempatkan di banjar Kelandis yang akan menampung sekitar 100 Budayawan, Seniman dan Pemerhati Seni. Sedangkan panggung kehormatan ketiga ditempatkan di depan banjar Kedaton yang akan menampung 125 undangan antara lain Wakil Gubernur Bali, Para ketua komisi DPRD Bali, para Wakil Bupati dan Wakil Walikota se Bali.

Hide

/

3500 Seniman Meriahkan Pawai PKB ke-31

Sedikitnya 3500 seniman dari dalam dan luar negeri akan tampil dalam pawai pembukaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-31, Sabtu 13 Juni 2009. Mereka tampil dalam kemeriahan karnaval yang terdiri dari 180 ragam-corak dan akan ditandai oleh iringan dua grup marching band modern dan tradisional masing-masing dari Universitas Udayana -Denpasar dan Istitut Seni Indonesia -Denpasar.

Pawai kesenian tersebut akan beranjak dari Lapangan Puputan Badung menuju Pusat Kesenian “WerdhiBudaya”, melintasi jalan Surapati - Hayam Wuruk. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pawai PKB tahun ini tidak dibuka oleh Presiden, melainkan oleh Gubernur Bali yang akan memutar cakra (senjata Dewa Wisnu, dewa pelindung alam semesta) sebagai simbol pemutaran roda kehidupan ke arah yang lebih mulia.

Pesta Kesenian Bali tahun ini mengusung tema “Mulat Sarira, Kembali ke Jati Diri Menuju Kemuliaan Bangsa dan Negara”. Dalam perhelatan selama sebulan ini selain akan tampil berbagai jenis kesenian dari seantero Bali, juga kesenian dari daerah-daerah lain di Nusantara seperti Lampung, Sumatera Barat, Jakarta, NTB, Kalimantan Barat, Jawa Timur. Selain itu, dipentaskan juga beberapa kesenian dari beberapa negara seperti Amerika Serikat, Meksiko, Taiwan, India, Jepang, dan Thailand. Seluruh nomor-nomor pertunjukan didukung oleh sekitar 14 ribu seniman.

Hide

/

Sapi Beauty Contest di Peguyangan

Belasan sapi dengan riasan yang anggun digiring memasuki "catwalk" dan memeragakan kecantikan dan ketampanannya untuk dinilai oleh dewan juri. Ini berlangsung dalam Sapi Beauty Contest di Desa Peguyangan, Denpasar, Sabtu (6/6/2009) lalu. Kontes ini dilakukan warga setempat untuk memeringati hari Tumpek Kandang.

Tumpek Kandang adalah sebuah hari suci umat Hindu di Bali yang ditujukan untuk menyelaraskan hubungan menusia dengan lingkungan khususnya hewan peliharaan. Upacara yang dilakukan pada hari ini merupakan ungkapan rasa syukur atas kemudahan hidup yang diberikan oleh Tuhan melalui hewan-hewan peliharaan, khususnya ternak potong. Dalam penanggalan Bali, hari suci ini jatuh pada Sabtu Kliwon Uye atau setiap 210 hari sekali (tujuh bulan kalender Masehi).

Di desa Peguyangan, tradisi kontes sapi dalam rangka hari Tumpek Kandang sudah berlangsung sejak tahun 1922 namun sempat menghilang selama puluhan tahun karena perubahan era dan situasi. Kini, tradisi tersebut dibangkitkan lagi sebagai ekspresi syukur terhadap lingkungan yang terjaga baik. Pemerintah Kota Denpasar, yang tengah mengumandangkan jargon “Go Green, Go Creative” mendukung sepenuhnya penyelenggaraan acara ini.

Banyak Tumpek
Selain Tumpek Kandang, umat Hindu di Bali juga merayakan beberapa hari Tumpek yang lain. Semua Tumpek itu merupakan ungkapan rasa syukur dan upaya menyelaraskan kehidupan manusia dengan lingkungannya. Tumpek Landep, merupakan upacara yang digelar untuk mensyukuri manfaat dari benda-benda tajam dan peralatan yang terbuat dari besi; Tumpek Wariga, ditujukan untuk mensyukuri manfaat tumbuh-tumbuhan; Tumpek Kuningan, untuk mensyukuri ketentraman dunia; dan Tumpek Wayang, untuk mensyukuri manfaat yang diberikan oleh peralataan kesenian seperti wayang, topeng, gamelan,dan lain sebagainya. (abe/jjb)

Foto: Adrian Suwanto/Radar Bali

Hide

/

Di Umah Matua, Semua Jadi Mantu Kesayangan

Ini warung keren. Lokasinya di Jalan Ngurah Rai 123 Negara, Bali. Namun ini bukan warung sembarang warung. Di warung ini, selain menikmati hidangan yang lezat kamu dapat merasakan suasana yang nyaman dan arsitektur yang menawan.

Sebagai sebuah warung, tempat ini merupakan meeting point yang strategis di kawasan Bali Barat untuk melakukan share intelektual serta diskusi-diskusi mengenai apa saja.

Memang, warung ini dirancang sedemikian rupa. Selain menghidangkan aneka menu lezat, juga menyediakan berbagai “kudapan jiwa”. Interior warung ini penuh dengan ilustrasi tokoh-tokoh inspiratif bagi dunia dunia seperti Martin Luther King Jr, Nelson Mandela, Aung San Suu Yi, Soekarno, Raden Ajeng Kartini, dan Barack Husein Obama.

Ada juga foto Valentino Rossi, Mohamad Ali, Bruce Lee, Thomas Alva Edison, Dalai Lama, dan Bunda Theresa.

Menu utama warung adalah makanan khas Jembrana seperti lontong serapah (lontong, sayuran, dan kuah dari clengis), nasi campur rumahan, lontong ceker ayam, lontong cap gomeh, nasi goreng matua (nasi goreng yang disajikan dengan bungkus telur dadar yang gurih).

Minuman? Di warung yang menyediakan fasilitas hotspot ini tersedia minuman-minuman khas yang selain segar juga bermanfaat untuk kesehatan, seperti teh sirih merah dan teh rosella (keduanya bermanfaat mengurangi hipertensi, asam urat, tumor, kolesterol, dan diabetes).

Tempatnya yang cukup luas, menjadikan warung ini bukan saja menarik untuk makan dan diskusi, tetapi juga untuk menyelenggarakan acara seremonial seperti perayaan ulang tahun, syukuran, reuni, atau business gathering.

Bagi pelancong yang datang ke Bali dengan mengendarai mobil sendiri, Warung Umah Matua ini bisa jadi tempat yang oke untuk mengisi perut begitu tiba di Pulau Dewata. Halal!

Oya, Umah Matua adalah kata dalam Bahasa Bali yang berarti “rumah mertua”. Meskipun masih lajang, di warung ini kamu akan diperlakukan sebagai mantu kesayangan.

Hide

/

Obral, Obrolan Komunitas-komunitas Kreatif Bali

Ini bukan sembarang obral. Ini "Obrolan Rabu Malam" yang dilakukan sebagai ajang gathering antar komunitas yang berbeda di Bali. Jadi dalam OBRAL diupayakan interaksi untuk membangun jejaring perkawananan yang guyub, kreatif dan produktif.

OBRAL perdana digelar di di Warung Lapau jalan By Pass Ngurah Rai 178 AB Sanur, Rabu (3/6/2009), menampilkan obrolan tentang "Forum dan diskusi seru di Bali" yang menampilkan: Soup Chat, komunitas yang memelopori diskusi kreatif dengan nara sumber yang beragam; Adgi Bali Chapter, komuniatas yang sukses dengan konsep "mebasa genep". Mebasa genep adalah isatilah bali yang berarti berbumbu lengkap. Istilah ini digunakan oleh untuk menunjukkan keragaman pemikiran, hobi dan profesi berpadu harmonis di komunitas Adgi Bali Chapter; Bedo komunitas yang konsisten melakukan "sharing discussion" tiap bulan dgn topik yang berbeda-beda; serta Bali Blogger Community, forum online (dan offline) yg merangkum para blogger di Bali.

OBRAL akan di selenggarakan secara reguler setiap bulan pada hari Rabu pekan pertama. Selain obrolan mulut, acara ini tenu juga diramaikan dengan obralan barang sepeti buku, kaset, CD, barang-barang koleksi, karya seni, desain, dan lain-lain dengan harga "miring" yang penjualannya tidak dikenai biaya apa pun alias direct selling.

Tempat OBRAL selalu berpindah-pindah. Bisa di Warung, Gallery, Taman atau tempat lain yang memungkinkan. Pemilihan tempat dilakukan bersama-sama atas usulan siapa saja. Yang penting, si pemilik tempat tidak berkeberatan.

Konsep presentasi, bukan serius macam seminar atau diskusi-diskusi formal lainnya, tetapi bersahutan seperti jika sedang ngobrol biasa. Yang utama dalam ajang ini adalah setiap obrolan bersifat konstruktif untuk semua... (abe/jjb)

Hide

/

Pramuwisata Bali Ditertibkan

Pramuwisata liar dapat meng ganggu tatanan pelayanan wisata di Bali. Banyak dampak buruk yang mungkin timbul akibat sepak-terjang mereka, seperti melanggar tatakrama di tempat wisata, berbuat tak bertanggungjawab terhadap wisatawan, dan banyak lagi. Karena itu, begitu menerima laporan masyarakat tentang adanya pramuwisata liar, Kepala Dinas Pariwisata Daerah (Diparda) Bali Ida Bagus Kade Subhiksu langsung membentuk tim untuk melakukan penertiban.

Tim tersebut terdiri dari beberapa instansi yakni Dinas tenaga Kerja, Imigrasi, Pengadilan Tinggi, Biro Hukum Sekretariat Provinsi Bali, PPNS Diparda Bali, Polisi Pariwisata, Satpol PP, dan unsur Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Daerah Bali. Begitu bergerak di kabupaten Badung yakni di kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK), Uluwatu, Taman Ayun, Bandara Ngurah rai dan Suwung, tim ini langsung menjaring 86 pelanggar termasuk pramuwisata yang diidentifikasi liar.

Pelanggaran yang banyak ditemukan adalah pramuwisata yang tidak memakai pakaian adat Bali. Dari pelanggaran tersebut, tim selanjutnya menahan kartu tanda pengenal pramuwisata (KTPP) yang bersangkutan. Pelanggaran lainnya, adalah berpraktek tanpa dilengkapi dengan KTPP atau denganKTTP yang masa berlakunya kadaluwarsa. Seluruh pelanggar ini kemudian diproses melalui pengadilan yang rata-rata dikenai sanksi berupa denda.

Menurut Peraturan Daerah Bali Nomor 5 tahun 2008, pramuwisata yang melanggar diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp 10 juta.

Menurut Subhiksu, sejauh ini tim penertiban belum menemukan pramuwisata asing yang beroperasi secara liar. Meskipun menurut beberapa pelaku wisata, hal itu terjadi di lapangan.
“Biasanya, mereka menyaru sebagai wisatawan. Untuk mengelebaui petugas, mereka menyewa pramuwisata lokal yang tugasnya hanya mengikuti rombongan dan diam saja,” ucap seorang pramuwisata yang enggan disebutkan namanya.

Menurut peraturan, orang asing yang mengantar wisatawan ke Bali hanya diperbolehkan sebagai tour leader dan wajib mengantongi lisensi untuk profesi tersebut.

Buat kamu, gunakan jasa pramuwisata resmi. Jika memutuskan untuk tak menggunakan jasa mereka, belilah buku panduan wisata dan pelajari dengan baik sebelum berwisata (abe/jjb)

Hide

/

Pertarungan Samurai Vs Ninja di PKB

Samurai dan Ninja akan bertarung di ajang PKB alias Pesta Kesenian Bali ke-31. Ini akan menjadi satu di antara banyak pementasan yang menarik dalam ajang pesta kesenian di Pulau Dewata tersebut. pertunjukan tersebut merupakan garapan tari dari SOEI Production Japan di bawah arahan sutradara Ujie Yatsumori.

Samurai dan Ninja menurut sejarah Jepang, indentik dengan tokoh pemimpin dan kekuatan bela diri yang mempunyai pengaruh dalam kehidupan dan ketentraman kerajaan-kerajaan Jepang zaman dulu. Samurai yang beraliran hitam (jahat) dengan kekebalan dan kekuatan yang dimiliki, berusaha menguasai dunia. Mereka menjadikan dunia resah dan takut karena ulah mereka yang tidak segan-segan melakukan pembunuhan dan tindakan keji kepada siapa saja. Termasuk mengusik gadis- gadis desa yang belia dan lugu.

Karena ulah mereka, ketakutan dan keresahan terjadi dimana-mana. Melihat itu, pemimpin desa mengajak para pemuda-pemudi desa yang tersisa memohon kepada Dewa-Dewi untuk memulihkan ketentraman mereka. Doa mereka dikabulkan dengan datangnya kekuatan Ninja yang menyerang Samurai beraliran hitam (jahat). Tetapi kekuatan Samurai yang beraliran hitam begitu hebat sehingga dapat mengalahkan kekuatan Ninja.

Para Ninja melakukan persembahyangan memohon kekuatan yang baik yang dapat menciptakan kehidupan yang damai di dunia. Datanglah Samurai yang beraliran putih untuk mengalahkan Samurai yang beraliran hitam. Perempuran Samurai yang beraliran hitam dengan Samurai beraliran putih terjadi.

Akhirnya Samurai beraliran hitam dapat dikalahkan oleh Samurai beraliran putih. Dengan demikian kehidupan di desa dan penduduk desa mendapatkan kedamaian kembali.

Pertunjukan yang pasti seru ini digelar pada hari Minggu, 14 Juni 2009 pukul 18.30– 20.00 waktu Bali, bertempat di Panggung Terbuka Ardha Candra.

PKB ke-31 akan dilangsungkan dari tanggal 13 Juni - 11 Juli 2009

Hide